S i n d h u n a t a
Tak pernah terbersit dalam benak kami bahwa di dalam gereja kami akan ada sebuah sumur. Memang, sebenarnya penggalian sumur itu, hanyalah akhir dari sederet kisah. Dan awal dari rentetan kisah itu adalah sebuah kisah tentang patung Maria.
Waktu itu kami hampir selesai membangun sebuah altar untuk patung Maria. Letak altar itu sejajar dengan altar Hati Kudus Yesus, di mana ditahtakan Sakramen Mahakudus. Altar Maria itu terbuat dari semen putih. Seperti altar Hati Kudus, altar Maria ini pun tak dapat dipindah-pindah karena melekat pada dinding.
Sebenarnya kami telah mempunyai sebuah patung Maria. Patung ini cantik dan indah, seperti umumnya patung Maria dari zaman Belanda. Tetapi patung ini menjadi terlalu kecil bagi altar baru yang memang lumayan besar ukurannya. Kami berpikir, lebih baik jika kami mempunyai patung Maria yang besar dan cocok untuk altar baru itu.
Namun, bagaimanakah kami dapat memperoleh patung itu. Patung Maria seukuran orang ternyata harganya sangat mahal. Uang kami terlalu sedikit untuk dapat membeli patung itu. Maklum, umat gereja kami, yang sebagian besar adalah petani, tak pernah berkelimpahan dengan uang.
Biar bagaimanapun kami ingin memiliki patung Maria itu. Maka kami memutuskan, patung itu hendak kami buat dengan tangan kami sendiri. Dengan demikian, biayanya akan sangat murah. Kami hanya perlu membeli semen putih. Lain-lainnya akan kami garap dengan kemampuan kami, betapa pun terbatasnya.
Dengan membuat patung itu, seakligus kami juga ingin menuangkan perasaan kami tentang Maria. Kami ini hanyalah umat pedesaan. Bagi kami, mencari nafkah bukanlah hal yang mudah. Kami harus membanting tulang di sawah-sawah, berjualan dengan bakul di pasar-pasar desa.
Bila sore tiba, sesudah kami pulang dari sawah atau pasar, sehabis kami mengandangkan ayam, itik dan kambing-kambing kami, kami sering berdoa kepada Bunda Maria. Pada Maria, kami sering mengadukan kemiskinan dan kesusahan kami. Dan kami yakin, Maria mempedulikan keluhan kami.
Karena itu, bagi kami Maria bukanlah ratu yang kaya dan penuh gemerlapan surga, tapi seorang ibu yang prihatin akan kesulitan hidup kami sebagai orang-orang desa. Maka kami juga mengalami Maria sebagai seseorang yang mempunyai perasaan dan hati wanita pedesaan. Maria kami adalah Maria Pedesaan.
Kami ingin mempunyai patung Maria yang menggambarkan Maria Pedesaan. Maka dalam membuat patung Maria, kami berusaha menumpahkan perasaan kami tentang Maria Pedesaan itu.
Akhirnya, patung pun jadi. Warnanya putih. Bentuknya sangat sederhana dan murah. Tak terkesan ada kecantikan di wajahnya. Tak terpancarkan keindahan dari sosoknya. Memang, patung ini tentu tak terlalu bernilai, jika diamati dari segi seni. Jika orang telah terbiasa dengan patung Maria yang biasanya ada di gereja-gereja, mungkin ia akan menertawakan Maria Pedesaan itu.
Tetapi kami sendiri bangga dengan patung itu. Kami telah mencoba menjadikannya sebatas kemampuan yang kami miliki. Maka kami tak ingin memimpikan patung yang lebih indah daripada patung yang kami hasilkan dengan jerih payah kami sendiri. Kami senang akan patung itu, lebih-lebih karena patung itu menyimpan dan menyembunyikan perasaan terdalam kami tentang Maria. Bagi kami, patung sederhana itu adalah wajah seorang Maria Pedesaan, yang kami cintai.
Kami memberi nama patung itu Ibu Risang Sungkawa. Dengan nama itu kami ingin mengenang Maria sebagai ibu yang selalu prihatin akan nasib dan kesulitan hidup kami.Dalam patung itu, kami merasakan seorang Maria yang bisa menangis bersama kami.
Saat patung Ibu Risang Sungkawa itu jadi, kami sedang menantikan datangnya musim hujan. Tetapi musim kemarau seakan tak mau berakhir. Sengat-sengat panasnya masih terasa di mana-mana.
Sawah-sawah mengering, ladang-ladang kekurangan air. Sungai-sungai seakan menjerit, haru gemericik dengan ratap tangis ikan-ikan. Kerbau-kerbau dan kambing-kambing bermain-main di padang tanpa rerumputan, menanti hujan tak kunjung datang.
Kami ingin secepatnya melihat sawah-sawah kami hijau kembali. Kami ingin ladang-ladang kami basah berair. Betapa bahagia hati kami, jika selekas mungkin rumput-rumput tumbuh segar, dan kambing serta kerbau-kerbau kami dapat makan kenyang dan menjadi gemuk.
Betapa rindu kami akan kehijauan dan kesegaran. Betapa rindu kami akan air hujan. Tetapi tiap kali kami mengutarakan kerinduan itu pada Maria, Maria seakan malah mengingatkan kami akan kemarau hati kami sendiri. Dan tiap kali kami coba merasakan kemarau hati itu, kami seakan merasakan, betapa sedih hati Maria.
Dan dalam kesedihannya, Maria seakan bilang, jika hujan tersimpan dalam mendung-mendung awan, maka seharusnya mendung-mendung gelap hatimu harus menyimpan air mata kesedihan. Tetapi mengapa kami tak merasakan air mata kesedihan itu sama sekali. Dan kami melihat, betapa di mata Maria, air mata itu seakan deras bercucuran.
Kami ternyata belum bisa menangis, meski sudah sangatlah gelap hati kami dengan mendung-mendung dosa-dosa kami.Tetapi bukan kami, melainkan Marialah yang menangisi dosa-dosa kami. Maria seakan mengambil semua tangis kami menjadi limpahan air matanya.
Pada saat itu kami ingin menangis, tetapi kami tak punya air mata. Dan ketika kami memandang-Nya, di mata Maria seakan tersimpan air mata kami. Karena itu kami pun berdoa: Maria ajarilah kami menangis dengan tangismu, supaya turun air mata yang seharusnya menjadi kepunyaan kami. Maka lupalah kami akan hujan. Lupalah kami akan kekeringan alam, di mana kemarau masih sangat menyengat kejam. Kami hanya ingin tenggelam dalam air mata Maria.
Kata cerita Jawa seperti dituturkan dalam Serat Ambya, air mata adalah asal-usul mutiara. Ketika Ibu Khawa terusir dari firdaus, ia menangis penuh sesal. Di padang gersang air matanya menitik jatuh. Setiap kali jatuh menyentuh batu, air mata itu berubah menjadi mutiara. Betapa indah air mata itu, jika ia menetes dari keprihatinan dan penyesalan atas dosa-dosa.
Maria menangis dengan tangis Ibu Khawa. Air matanya sangatlah indah. Baru kelak kami tahu, bahwa air kehidupan dalam Sumur Kitiran Mas yang berada di bawah kakinya itu ternyata berasal dari air mata kami dan air matanya.
*****************************************************
*Sumber tulisan: Buku “Mata Air Bulan, Sindhunata, Kanisius, Yogyakarta, 1998.