MARTIN LUKITO SINAGA
Seorang Mama Papua pernah berkata kepada saya bahwa bergantinya nama Irian menjadi Papua membuat ia merasa lebih dekat dengan derita masyaraat. Di suatu acara pelatihan moderasi beragama di Merauke, ia memimpin kami menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan sikap sungguh-sungguh. Setelahnya ia juga meminta kami mengikutinya menyanyikan lagu “Hai Tanahku Papua”. Ia terharu
Lagu itu, katanya, diciptkan Dominee Kijne, misionaris yang bekerja di Papua pada 1923-1958. Mama Papua itu lalu membisikkan pesan Kijne yang sangat terkenal di Papua “…..bagi yang bekerja setia dan dengar-dengaran ….akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain”.
Papua Road Map, laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009, menyebutkan bahwa persoalan dasar Papua adalah soal identitas; bagaimana meletakkan relasi keindonesiaan dan kepapuaan. Kisah Mama Papua di atas menggambarkan relasi yang kompleks itu lewat dua nyanyian yang ia pandu. Di situ tersirat suatu kemungkinan baru dalam pesan Kijne: kiranya datang tanda heran di jalannya.
Bernanda Meteray dalam disertasinya pada 2011 menyebut persoalan identitas sebagai “nasionalisme ganda orang Papua”. Nasionalisme ini muncul tidak dalam konteks perseteruan, lebih sebagai akibat evolusi sosial di tanah Papua.
Saat ini ada 250 bahasa yang dipakai di Papua, suatu kemajemukan yang tak kala rumitnya dengan Indonesia. Sementara itu, para misionaris mendirikan jalan untuk mempertemukan warga Papua, melalui berbagai sarana pendidikan yang dinamai Sekolah Peradaban, Sekolah Sambung dan Sekolah Guru Desa, dengan bahasa Melayu sebagai pengantarnya. Lewat pelbagai sekolah tersebut tersemailah kepapuaan melalui lingua franca Melayu, hal yang dialami bangsa Indonesia.
Awalnya banyak guru-guru asal Maluku yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut. Belakangan, ada kebijakan agar orang Papua sendiri yang mengajar dengan harapan pengalaman itu bisa jadi modal bagi mereka memimpin masyarakat. Dilengkapi asrama, sekolah tersebut membangun kedekatan emosional di antara siswa yang datang dari berbagai suku. Para siswa diharapkan memilki semangat kepapuaan yang mandiri, terutama setelah nanti tak lagi diasuh para misionaris.
Sikap mandiri orang Papua sudah lama berakar di dalam budaya dan religi mereka. Bagi orang Dani di pegunungan Papua, misalnya, agama baru yang dibawa para misionaris, atau pengetahuan baru yang mereka dapatkan dari sekolah, mesti melahirkan tanda heran “mesianik” nabelan kabelan, kulitku, kulitmu. Ini berarti kita harus sama sejahtera dengan para misionaris dan air mata tak boleh terkucur lagi terutama setelah makan tersedia untuk semua orang.
Contoh lain: orang Mee di Paniai punya tokoh bernama Zakheus Pakage-pernah ditulis Benny Giay dalam sebuah buku yang diterbitkan Marjin Kiri pada 2022.
Zakheus pernah sekolah di Makassar. Pada 1950, ia kembali ke Mee dan menggerakan massa mengusir penjajah Belanda. Ia berhadapan dengan kekerasan Jepang dan mendukung gerakan nasionalisme Indonesia. Zakheus ingin martabat orang Mee dihormati dan tak lagi dituduh sebagai Wege Bage, “pengganggu keamanan”. Untuk itu Zakheus tampil sebagai Koyeidaba, mesias yang membawa masyarakat Mee memsuki “tanda heran” berlimpah makanan. Dengan demikian, orang luar akan tahu bahwa datangnya kemakmuran adalah tanda yang menunjuk bahwa orang Mee merupakan tuan atas kehidupan baru tersesbut.
Di pihak lain, gerakan Indnesia merdeka telah diterima sejumlah toko Papua sebagai bagian dari kepapuaan mereka. Seperti Zakheus, sejumlah aktivis Papua dipimpin Soegoro Atmopradsodjo masuk asrama pendidikan Pamong Praja dan membaca kisah-kisah toko pergerakan yang dibuang ke Digul.
Keindonesiaan dan kepapuaan bertemu di sini. Kita bisa menyebut sejumlah nama orang Papua yang mendukung nasionalisme Indonesia: Kaisiepo, Rumkorem, Rumbiak, Jouwe, Indey, Krey, Papare, Mofu, Manupapami, Wojoi…….Selain bersepakat mengusir Belanda dari Tanah Papua, mereka menyemai solidaritas Papua bagi Indonesia. Pembuangan Sam Ratulangie di Serui tahun 1946 menginspirasi lahirnya Partai Kemerdekaan Imdonesia Irian. Ketua partai itu, Silas Papare, berjuang untuk pembebasan Papua dari kolonialisme Belanda agar pembangunan Papua bersama Indonesia segera terwujud.
Dengan nasionalisme ganda orang Papua ini, identitas menjadi apa yang pernah disebut Goenawan Mohamad, sebagai “Indonesia Proses”. Indonesia tak dilihat sebagai jati diri yang beku, tidak pula terjebak dalam taksonomi pro atau anti-Indonesia. Yang ganda tak usah berujung pada asimilasi, tapi menempuh jalan ekstopi. Di jalan itu kita mengakui subyek Papua, integritasnya dalam membangun sejarah, dan dengan suplemen keindonesiaan pada kisahnya, Papua akan menjalani masa depan “mesianik”-nya, yang berisi “satu tanda heran ketanda heran lainnya”.
Sumber Tulisan Majalah Tempo, Kolom Marginalia, Edisi 29 Mei – 4 Juni 2023.