Oleh Ferdinandus Butarbutar, Dosen Etika di UPH Karawaci
“Agak Laen” – meminjam judul film komedi besutan Muhadly Acho, mungkin itulah potret realitas kita akhir-akhir ini jika bicara soal beras. Mengapa dikatakan “agak laen”, karena negara kita yang pernah dikenali sebagai negara agraris, yang mengafirmasi denyut nadi perputaran ekonomi dikonstruksi oleh keagrariaan. Bahkan di era Presiden Soeharto tahun 1984-1985, Indonesia berhasil menegaskan dirinya sebagai negara agraris, dengan mencapai swasembada beras. Namun kini, paling tidak lima tahun terakhir, 2018-2023 produksi pangan khususnya beras menurun drastis.
Demi validasi atas pernyataan diatas, mari kita lihat laporan dari BPS pada gambar berikut:
Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/research/20240119172114-128-507373/impor-pecah-rekor–produksi-ambruk-apa-kabar-swasembada-beras-ri (Diakses pada 4 Maret 2024).
Mengintip realitas temuan BPS diatas tentu meresahkan, karena penurunan produksi beras terjadi secara merata di seluruh provinsi, secara khusus pada sentra-sentra produksi beras tinggi yakni pulau Jawa (turun 380 ribu ton), Sumatera dan Sulawesi (turun 270 ribu ton) – Lihat lingkaran merah diatas. Dan total penurunan produksi beras pada tahun 2023 mencapai 645,09 ribu ton. Dan untuk mengatasi krisis tersebut pada tahun 2023 terjadi lonjakan signifikan untuk impor beras yakni hingga 613,61%. Selain hal tersebut, yang menjadi keprihatinan kita bersama adalah terjadinya penurunan luas lahan pertanian. Hal ini tentunya akan berbanding lurus dengan kondisi krisis beras akhir-akhir ini.
Ironisnya fenomena krisis beras terlihat signifikan pasca perhelatan pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan. Perhatian kita tentunya tertuju kepada pola-pola para kandidat, baik di level Capres/Cawapres maupun di level Caleg, yakni transaksi politik pragmatis, yang didalamnya tentu termasuk pembagian beras secara cuma-cuma. Perasaan yang amat gembira karena pesta rakyat, pada pasca pemilu tiba-tiba berubah menjadi kecemasan atau keresahan, apalagi kini potensi inflasi siap menyergap.
Pertanyaan dasar yang diajukan secara umum oleh banyak orang adalah, “mengapa hal tersebut terjadi?” Pihak pemerintah kerap mengatakan bahwa hal tersebut karena faktor cuaca seperti El Nino. Memang periode-periode kekeringan terjadi pada tahun 2023. Selanjutnya jika pertanyaan tersebut kita ajukan kepada para elit politik dan pemerhati, mereka akan mengatakan bahwa hal tersebut karena “bansos atau bantuan-bantuan sosial lainnya” dari para kandidat Capres/Cawapres hingga Caleg. Karena memang sepanjang masa kampanye, pola pendekatan politik ala “sinterklas” yang baik hati dengan membagi-bagikan hadiah termasuk beras terlihat dengan jelas.
Lebih jauh mari kita mengudar dan menganalisis problematika krisis beras ini:
Sebenarnya Siapakah yang Paling Bertanggung Jawab?
Kita perlu mengajukan pertanyaan diatas secara etis, demi menemukan pembacaan yang objektif atas setiap masalah yang terjadi. Jika tidak, kita akan terbiasa mengelak dan cuci tangan, padahal ada problematika yang amat serius pada masyarakat, yakni krisis beras. Krisis ini tentu tidak boleh dipandang sebelah mata, karena sesungguhnya krisis beras ini, bisa juga memiliki efek domino yang berkepanjangan.
Untuk menawab pertanyaan fundamental di atas, tentu kita akan terbantu jika memahami syarat-syarat fundamental sebuah krisis. Tentu jawaban akan hal ini cukup luas, karena kita akan mengudar penyebab-penyebab yang memungkinkannya. Ada kondisi-kondisi conjointly, yakni keserempakan yang saling menempel dan memengaruhi, antara pemerintah (pusat/pemda), perorangan, masyarakat, perusahaan swasta dan BUMN/BUMD.
Secara sederhana kita akan mencoba menelusurinya. Pertama, pihak pemerintah. Pihak ini menjadi yang paling bertanggungjawab, yakni dari hulu hingga ke hilir. Mengapa demikian? Semata karena mereka yang memiliki kewenangan terkait undang-undang agraria. Dimana UUPA 1960 yang dilanjutkan pada masa Orde Baru 1966-1998. Kemudian pada era reformasi 1998 UUPA direstrukturisasi dengan Tap MPR IX, 2001, supaya pola-pola kroni dan kolusi penguasa-pengusaha dibatasi secara konstitusional. Undang-undang agrarian ini terus direformasi khususnya lewat pemerintahan Presiden Jokowi lewat kebijakan Nawacita (2014) dan UU Cipta Kerja (2020). Bahkan pada tahun 2021, pemerintah cukup banyak memproduksi peraturan perundang-undangan yang terkait agraria yakni PP 18; PP 19; PP 20; PP 43; PP 64 dan PP 124.
Pertanyaan fundamentalnya adalah apakah undang-undang agraria tersebut berpihak kepada rakyat khususnya petani? Dan apakah undang-undang tersebut berpotensi untuk menyejahterahkan hidup para petani?
Hingga saat ini, reformasi bidang agraria belum berjalan dengan baik. Pemerintah baru fokus kepada pembagian sertifikat tanah, atas lahan yang sebelumnya sudah dikelola, sedangkan para petani yang tidak punya lahan (aset) belum tersentuh sama sekali. Demikian juga pemilikan lahan masih banyak menguntungkan pihak pemerintah dan swasta, termasuk dalam sengketa-sengketa lahan. (Silahkan akses data LHK pada tautan https://www.menlhk.go.id/work-plan/renstra-klhk-tahun-2020-2024/ ).
Kedua pihak pengusaha/investor swasta. Pihak ini memang turut diintip, mengapa? Karena mereka lebih dekat ke petani daripada pemerintah. Itu sebabnya pengaruh mereka terhadap para petani cukup besar, dan petani-petani tergantung kepada mereka. Mereka bisa hadir mulai dari proses awal yakni pembibitan atau penanaman, hingga ke perawatan bahkan masa panen. Mereka menjadi penyedia bibit unggul, dan mereka juga sekaligus penyedia pupuk dan aneka obat-obatan yang dibutuhkan para petani. Begitu masa panen tiba, mereka pula yang menetapkan harga jual hasil pertanian, yang cenderung rendah/murah, sehingga pola-pola ini rentan mempersulit posisi para petani..
Bukan hanya itu, di beberapa wilayah pertanian di tanah air, yang dahulunya adalah lahan pertanian padi, kini beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Supaya para petani semangat mengikuti irama para investor, pada awal alih fungsi kelapa sawit dibeli dengan harga yang cukup mahal, namun kian ke sini, harga jual semakin rendah. Petani menjadi sial, seolah kena “prank” dagang para investor. Jelaslah bahwa para investor besar memonopoli pasar pangan dalam hal ini beras.
Ketiga masyarakat : baik sebagai petani penggarap dan pemilik lahan. Mereka ini adalah pihak yang paling lemah. Mereka juga barangkali yang paling dirugikan, oleh struktur-struktur ekonomi pertanian. Mereka terperangkap dibawah dan hanya mengikuti irama permainan investor dan pemerintah. Mereka tanpa pikir panjang menyantap saja umpan yang disuguhkan oleh para investor. Bahkan tidak sedikit lahan yang akhirnya dijual, karena terjerat dengan pinjaman dan bunganya yang cukup besar. Derita para petani bukan hanya tidak bisa menikmati hasil panen dengan bahagia dan bangga, tetapi juga akhirnya merelakan lahan-lahan pertanian mereka diambil alih para pemodal besar. Kondisi ini betul-betul amat memprihatinkan!
Upaya Menjahit Keadilan
Prinsip-prinsip etika keadilan amatlah perlu ditelisik dalam mencari mitigasi terbaik. Pertanyaan dasar apakah sikap dan tindakan yang paling adil dalam kondisi-kondisi demikian? Kemudian kepada siapakah kita mengalamatkan sasaran dari keadilan tersebut?
Pertama, bersikap adil sebagai sebuah keutamaan. Dalam etika Nichomachean, bahwa bersikap adil tersebut sebagai seluruh keutamaan. Dalam rangka membangun polis demi hidup bersama, maka diperlukan kebijaksanaan para penguasa, keberanian para tantara (guardian) termasuk disiplin tinggi dari seluruh masyarakat polis. Oleh ketiga aspek tersebut eudaimonia (kebahagiaan) akan tercapai.
Hal kedua adalah kita perlu sadar akan keadilan kodrat, atau keadilan natural, yang melekat pada alam semesta ini, dalam hal ini termasuk pada lahan-lahan yang agraris. Lahan-lahan tersebut haruslah diperlakukan termasuk dirawat ketahanannya dengan prinsip kesesuaian pada kodratnya.
Secara ontologis, kita harus memberikan keadilaan pada lahan-lahan tersebut. Karakteristik, taksonomi dan unsur-unsur tanah harus menjadi pertimbangan utama, seperti unsur hara, jenis air, mikroba dll. Jika potensi kodrati pada tanah tersebut adalah tanah yang heterogen, lalu oleh alasan industri pertanian atau perkebunan, mengubah disvaritas hayati yang ada menjadi tanaman yang homogen, maka tindakan ini merupakan tindakan yang keliru secara etis. Hal-hal seperti ini yang juga menjadi perhatian ekoteologi, yakni memperlakukan dan merawat tanah sesuai dengan kodratnya. Bahkan didorong untuk mengolah dan merawat tanah demi tanah itu sendiri. Problematika serius muncul, karena jenis keadlan ini belum diprioritaskan atas alasan pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional termasuk alasan-alasan yang berpijak pada basis-basis antroposentrisme.
Kodrat alam dan iklim tersebut penting diadaptasikan kepada jenis-jenis produksi pertanian, mengingat potensi disvaritas pada tanah. Pemerintah perlu mengupayakan ketersediaan cadangan-cadangan air bagi para petani, mengupayakan bibit gabah yang tahan cuaca kering, mengatur irama tanam yang sesuai iklim (cuaca), bersama kaum akademisi kampus mengadakan pelatihan pengadaan pupuk organik murah dan terjangkau, termasuk membuka jejaring jual beli demi mewujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi para petani.
Hal ketiga adalah keadilan bersama, yang dikenal sebagai kontrak sosial. Gagasan-gagasan keadilan dari Hobbes, Locke, Rousseau bahkan Raws perlu dirujuk. Manusia dan seluruh masyarakat dilihat bebas dan setara sebagai subyek. Hak-hak dasar semua warga negara dijamin secara konstitusional oleh otoritas negara (Leviathan). Latar kelahiran etika ini supaya semua warga turunkan senjata, homo homoni lupus ditinggalkan. Bellum omnes contra omnes juga disingkirkan, digantikan dengan kontrak sosial bersama yang setara, yang bebas, saling menghargai hidup dan kepemilikan semua warga.
Keempat adalah bersikap adil sebagai kewajiban. Arahnya tentu kepada gagasan etika keadilan Kant, yakni kehendak baik untuk melakukan apa yang adil. Sikap dan tindakan etis ini terikat dengan nilai-nilai intrinsik pada dirinya sendiri. Hal seperti ini perlu menjadi kesadaran dan prioritas bersama, semata karena kewajiban moralitas kita pada alam, manusia bahkan demi nilai keadilan itu sendiri pada dirinya secara inheren.
Jadilah Masyarakat Agraris yang Kritis
Untuk masyarakat petani, jadilah menjadi masyarakat agraris yang kritis. Jangan asal terima begitu saja (budaya nrimo). Para petani juga adalah orang yang merdeka dan bermartabat. Menjadi seorang petani, harusnya menjadi sebuah kebanggaan. Subyek diri yang otonom dan berharga tersebut harus selalu dikonstruksi.
Para petani juga harus berani dengan kepala tegak menghadapi segala ancaman atau tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Karakter keberanian perlu dihidupi baik secara pribadi maupun secara komunitas. Perlu disiplin dan keberanian menjaga eksistensi dan keluhuran tanah agraria. Sustainability yakni daya tahan dan keberlanjutan tanah dan historisnya perlu direafirmasi, semata demi kodrat alam itu sendiri. Memberikan kepada alam atau tanah agraria apa yang seharusnya kita berikan, menahan diri untuk tidak memberikan apa yang seharusnya tidak kita berikan. Semoga … !!