S I N D H U N A T A
Hiruk-pikuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 terjadi setelah 25 tahun reformasi. Sayang jika keterkaitan waktu di antara keduanya begitu saja kita lupakan. Kita boleh segera membayangkan, bisakah hiruk-pikuk pesta demokrasi ini kita rayakan apabila tiada reformasi?
Jawabannya mudah, andaikan tiada reformasi, rezim otoriter Orde Baru takkan tumbang. Artinya, rezim itu akan terus represif terhadap gerakan-gerakan demokratis, dan tak mungkinlah pesta demokrasi ini boleh terjadi.
Maka, Pilpres 2024 merupakan anak dari reformasi. Jika ia berjalan melawan arah demokrasi, itu berarti ia membunuh ibunya sendiri. Dalam hal ini perlu terus kita ingat, demokrasi itu rawan, bagai gelas yang mudah pecah. Kita harus merawatnya dengan amat hati-hati, lewat politik dan ekonomi. Dan tentu saja lewat budaya.
Secara politik dan ekonomi, sedikit atau banyak, demokrasi sudah coba kita rawat. Secara kultural, belum atau kurang, atau malah nyaris tidak. Memang demokrasi adalah sistem politik yang bernilai universal. Namun, biar bagaimanapun, karena asal-usulnya historis, sistem itu juga bermuatan nilai-nilai Barat.
Khusus di negara-negara Asia dan Afrika, datangnya nilai universal itu juga tersusupi kepentingan kekuasaan, yang berabad-abad lamanya menyerakahi dan menindas negara-negara jajahan karena imperialisme dan kolonialisme Barat. Dalam hal ini, demokrasi pun perlu terus dipurifikasi, dimurnikan.
Seperti dipelajari oleh Prof Pratap B Mehta, intelektual dan pakar ilmu politik India, hal di atas ditunjukkan, misalnya, oleh Mahatma Gandhi di India dan Nelson Mandela di Afrika Selatan. Kedua tokoh dunia itu tak begitu saja memperlihatkan rasa permusuhan terhadap Barat. Namun, mereka dengan kritis bisa membedakan, manakah realitas kekuasaan negara-negara Barat dan mana wilayah-wilayah idealisme moralnya.
Karena pendirian itu, di India muncul sikap skeptis terhadap apa yang dilakukan Eropa terhadap negara-negara di belahan dunia. Namun, pada saat yang sama juga muncul upaya-upaya kerja sama dengan Eropa di wilayah ideal dan kultural. Betapa pun dari Eropa, India bisa belajar tentang cita-cita pencerahannya. Sikap dan upaya demikian diharapkan bisa melahirkan kekuatan nasional yang kokoh bersamaan sekaligus dengan kekuatan pencerahannya.
Rakyat yang menangis
Demokrasi di Indonesia kiranya perlu diletakkan dalam ketegangan dikotomis yang sekaligus dialektis itu. Pertanyaannya, adakah penghubung yang di satu pihak bisa menjembatani ketegangan itu dan sekaligus jadi dasar berpijak bagi berdirinya bangunan demokrasi yang universal dan sekaligus nasional itu?
Sejauh pengetahuan penulis, sekurang-kurangnya tradisi Jawa punya warisan yang kiranya bisa disodorkan sebagai penghubung sekaligus dasar berpijak itu. Dan, warisan itu adalah tradisi Ratu Adil. Sehubungan dengan itu, kita perlu terlebih dulu ”memurnikan” anggapan umum yang begitu saja memersonifikasikan Ratu Adil, dan membayangkannya sebagai person. Personifikasi itu hanya akan memiskinkan dan mengeluarkan Ratu Adil dari nilai dan sejarahnya.
Ratu Adil adalah tradisi mesianisme Jawa. Lahir dari sejarah perlawanan rakyat terhadap penindasan kolonialisme dan imperialisme penjajah. Dengan caranya sendiri dalam segala keterbatasannya, rakyat berusaha melawan kemiskinan dan penindasan yang tercipta karena sistem kolonial yang tak adil. Mereka ingin bebaskan diri dari penderitaan.
Perlawanan dan pemberontakan rakyat kecil itu memang berakhir dengan kegagalan. Namun, kegagalan ini tak menghilangkan dan meniadakan harapan yang tersimpan dalam perlawanan mereka. Harapan itulah yang harus kita rawat terus sampai kini. Apabila kita mau merawatnya, kita pun akan mempunyai warisan kultural untuk mengkritisi sejarah, juga sejarah masa kini, ketika kita terombang-ambing dalam alam demokrasi.
Di era kebangkitan nasional, Soekarno muda adalah seorang intelektual yang bisa menangkap ide Ratu Adil itu sebagai harapan. Sebelum diasingkan ke pembuangan, di hadapan sidang hakim-hakim kolonial, ia memaparkan pidato pembelaannya yang terkenal berjudul ”Indonesia Menggugat” (18 Agustus 1930).
Di sana tampak Soekarno menangkap Ratu Adil bukan sebagai mitos atau khayalan, tapi sebagai ”harapan” yang riil ada di dalam hati wong cilik yang menderita dan mencita-citakan pembebasan.
”Kalau rakyat mengira Ratu Adil itu telah muncul, itu tak lain tak bukan karena hati rakyat yang menangis itu, tak henti-hentinya, tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak henti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harap: ‘kapan, kapankah matahari terbit?’”
Harapan itu ditegaskan kembali dalam kata-katanya ini: ”O, siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang lebih dalam ini, siapa yang akan mengerti akan diepere onderground, sebagai yang diterangkan pula oleh Prof Snouck Hurgronje di brosurnya “Vergeten Jubile”, tentu sedih dan ikut menangislah hatinya, kalau ia saban kali mendengar suara rakyat meratap: ‘kapan, kapankah Ratu Adil datang?’”
Tentu sedih dan menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban kali melihat lekasnya dan setianya rakyat menyerahkan diri ke dalam tangan seorang kiai atau dukun yang menyebut diri ”Heru Cakra” atau ”Ratu Adil”!
Harapan semacam ini kiranya terus menyala di hati rakyat kecil sampai sekarang ini. Sebab, setelah 78 tahun merdeka, dan 25 tahun reformasi, kemiskinan dan penindasan di negeri ini masih juga menjadi masalah yang belum terselesaikan juga. Kemiskinan ini tak hanya menyengsarakan rakyat secara sosial, tapi juga menyudutkannya secara sosial.
Sampai sekarang, orang kaya dan miskin tak hanya terpisah secara material, tapi juga sosial. Kedua kelompok ini punya cara hidup sendiri-sendiri. Ibaratnya, yang satu belanja di mall modern, yang lain di pasar tradisional. Yang satu di sekolah mahal bertaraf internasional, yang lain bersekolah di sekolah negeri, yang harus ditempuh dengan jalan kaki.
Keterpisahan cara hidup ini membuat keduanya tak bisa berbicara satu sama lain. Masing-masing punya cara pikir dan bicaranya sendiri. Ini bahaya bagi demokrasi. Lebih-lebih, karena kekuatan modalnya, mereka yang kaya begitu saja mudah mendapat akses untuk masuk ke dalam kekuasaan. Sementara yang miskin tinggal di luar kekuasaan itu.
Menurut pakar politik Herfried Münkler dari Universitas Humboldt, Berlin, keterpisahan itu bisa membawa demokrasi ke dalam krisis. Katanya, krisis demokrasi itu diakibatkan oleh dua ancaman, yakni yang kuat berhimpun bersama yang kuat membentuk garda kekuasaan di satu pihak, yang lemah tersudut bersama yang lemah di lain pihak.
Sementara yang kuat makin lapar untuk berkuasa, yang lemah makin acuh dan menjauh untuk ikut menentukan kekuasaan. Bukan demokrasi lagi, apabila ancaman demikian ini tidak diselesaikan. Bahayanya, jika sudah tidak kuat menanggung lagi, yang lemah akan memberontak dengan caranya sendiri.
Jauh sebelum demokrasi, hal itulah yang terjadi dengan pemberontakan Ratu Adil yang dulu dilancarkan petani. Waktu itu, kekuatan pemerintah kolonial makin kuat karena para penguasa feodal, kaum priayi, ikut masuk ke dalam sistemnya, dan memperkokohnya. Sistem itu makin menindas rakyat yang makin terus terpinggirkan dari kekuasaan. Tak ada jalan lain, mereka ingin menentukan nasibnya sendiri dengan memberontak.
Mengamati hal ini, pemerintahan demokratis baru nanti kiranya perlu mewaspadai kemiskinan itu sebagai masalah serius. Jangan sampai kemiskinan dilihat hanya secara material. Refleksi atas gerakan Ratu Adil dalam zaman pemberontakan wong cilik menunjukkan, kemiskinan itu tak dapat dipahami hanya sebagai nasib individual, sebaliknya, kemiskinan itu kolektif dan struktural. Dan lebih daripada sekadar material, kemiskinan itu sosial dan kultural.
Harapan akan Ratu Adil menjeritkan, janganlah mereka yang lemah dipojokkan hanya untuk jadi umpan yang empuk bagi penindasan. Jika mau mendengar harapan itu, pemerintahan yang demokratis perlu menjaga, jangan sampai mereka yang miskin sengaja dibiarkan untuk tak bisa partisipatif. Dan itu bisa terjadi jika pemerintah ikut mencegah agar yang kaya tak menjadi makin jahat karena makin lapar dengan kekuasaan.
Peringatan untuk waspada
Dalam tradisi Ratu Adil tersimpan keyakinan bahwa adanya kaos atau kekacauan adalah tanda akan datangnya zaman baru, sekaligus tanda bahwa tatanan yang ada akan diperbarui menjadi tatanan baru yang lebih baik. Kekacauan itu tidak hanya meningkatkan kesengsaraan rakyat, tapi juga kocar-kacirnya nilai-nilai.
Ramalan Jayabaya, yang sering dikaitkan dengan tradisi Ratu Adil, misalnya, mengatakan, pada waktu itu ”kukum lan yuda nagara, pan nora na kang nglabeti, salin-salin kang parentah, aretu patraping adil, kang bener-bener kontit, kang bandhol-bandhol pan tulus, kang lurus-lurus rampas, setan mindha wahyu sami, akeh lali mring Gusti mring wong tuwa”.
Kurang lebih ramalan itu mengingatkan, hukum dan pengadilan tiada lagi yang menaatinya, perintah datang berganti-ganti, kelakuan yang adil tiada sudah, mereka yang benar ketinggalan, yang jahat dianggap tulus, mereka yang lurus-lurus tumpas, setan menyamar dalam pewahyuan, dan banyak orang lupa akan Allah dan orang tua.
Oleh Serat Kalatidha, zaman demikian disebut zaman edan. Di zaman itu, Serat Kalatidha mengatakan, raja tak berdaya, demikian juga pembantu-pembantunya, di mana-mana ruwet, situasinya kusut, tak ada yang bisa dicontoh, karena atilar silastuti, kehilangan etika tata krama, bahkan sujana sarjana kelu, kalulun Kalatidha, para bijak dan cerdik pandai pun terikut, terseret arus zaman edan.
Ramalan atau peringatan itu ternyata juga bisa jadi simbolik tentang kenyataan setelah 25 tahun reformasi ini. Menjelang Pilpres 2024, banyak pejabat, petinggi masyarakat, politikus, cerdik pandai, tua maupun muda, hanyut dalam arus zaman edan, aurat malunya lenyap, berpolitik bukan dengan berpijak pada kebenaran, melainkan dengan memainkan kebohongan. Politiknya tak menyeriusi kedalaman, tapi mencandakan kedangkalan.
Revolusi mental dicanangkan. Praktiknya, malah etika dan moral dijungkirbalikkan. Penjungkirbalikan ini justru terjadi di strata tertinggi yang seharusnya memeluk nilai-nilai luhur dan mulia.
Hakim Agung yang seharusnya berteguh pada konstitusi malah mencederai konstitusi karena terseret kepentingan politik dinasti. Ketika diberhentikan sebagai hakim nonpalu dalam perkara pemilu, ”yang mulia” ini bukannya menerima dengan legawa, tapi malah merasa dikhianati, karena itu hendak mengajukan gugatan pula.
Sama halnya dengan ketua KPK. Dia yang seharusnya menjaga marwah pejabat agar bersih dari korupsi, malah jadi tersangka dalam perkara korupsi. Enam menteri susul-menyusul masuk bui. Belum lagi anggota BPK yang dicurigai korupsi, hingga kantornya digeledah KPK. Lalu, kasus tembak-menembak antarpolisi. Dan, kiranya masih banyak lagi kasus yang membuat rakyat gigit jari.
Dua puluh lima tahun reformasi ternyata melahirkan buah-buah yang mencederai nurani dan meruntuhkan nilai-nilai yang diperlukan untuk membangun demokrasi. Nyawa-nyawa yang melayang dalam perjuangan reformasi adalah ”altar kurban”, agar demokrasi bisa dipersembahkan, diletakkan, dan ”disucikan”. Apa yang terjadi menjelang pilpres ini justru menjungkirkan ”alat kurban” itu. Tak heran, jika totaliterisme Orde Baru muncul kembali menjadi bayang-bayang yang menakutkan.
Di samping menjadi ”altar kurban” itu, reformasi kiranya juga jadi pembuka selubung yang menelanjangi banyaknya ”kekuatan gelap dan jahat” yang bersembunyi di dalam diri kita dan sekitar kita.
Reformasi menjadi momen, yang membuat kita tahu bahwa telah datang zaman, di mana seperti diramalkan tradisi Ratu Adil dalam Ramalan Jayabaya, ”wong dursila saya ndarung, akeh dadi durjana, wong gedhe atine jail, mundhak taun mundak bilahning praja”, orang jahat tambah menjadi-jadi, banyak yang jadi durjana, orang-orang berkuasa dan kaya hatinya licik, tambah tahun makin meningkat malapetaka negara.
Ratu Adil bukanlah tradisi pesimisme, tapi tradisi optimisme harapan. Maka, dalam tradisi Ratu Adil, kekacauan itu mesti dimengerti sebagai ”kesempatan sekaligus peringatan”, agar kita makin berhati-hati, dan bersungguh untuk membangun zaman baru, di mana kekacauan itu hilang dan dihilangkan, dan manusia boleh hidup dalam suasana material, sosial dan moral yang baru, adil, damai, dan tenteram.
Peringatan di atas kiranya terus dijadikan pegangan menjelang Pilpres dan Pemilu 2024 nanti. Rakyat sedang menantikan datangnya zaman baru, di mana mereka ingin memperoleh keadilan, ketenteraman, dan keamanan. Jangan sampai jalan ke sana justru didahului dengan ”kekerasan dan kekacauan”, yang akan menghilangkan harapan. Di sinilah kita memperhatikan peringatan tradisi mesianis seperti Ratu Adil itu.
Kuasa membuat lupa
Setelah pilpres dan pemilu, pemerintah baru juga jangan mengendurkan peringatan itu. Dua puluh lima tahu reformasi memberi kita pelajaran, manusia gampang luntur dalam menegakkan cita-cita demokrasi. Itu karena kekuasaan mudah membuat manusia melik nggendhong lali, kekuasaan itu mudah membuat orang lupa untuk meninggalkan kursinya, juga bila saatnya tiba.
Untuk itu, siapa pun yang berkuasa harus ”kritis” terhadap kekuasaannya, atau mau ”dikritisi” kekuasaannya. Ada pasemon, pepatah Jawa: kuwasa iku becik semune, maksudnya, kuasa itu mudah tergoda untuk berpura-pura baik. Tegasnya, walau seseorang jelek atau jahat karena kuasanya, ia bisa membuat dirinya kelihatan baik. Hal ini tampak pada figur-figur penguasa totaliter, yang menawan dengan senyumnya walaupun sesungguhnya ia adalah penindas.
Maka tak heran, Prapta B Metta, pakar politik yang juga mengajar di Universitas Princeton, mengatakan: ”Semua kekuasaan adalah kemunafikan, mereka juga munafik ketika mereka mengatai lawannya munafik.” Karena itu, menurut Metta, absurd bila kita menganggap negara-negara Barat-lah rumah di mana tinggal dan dijaga tanggung jawab moral dan nilai-nilai universal itu.
Jadi, dilihat dari segi kekuasaan, negara Barat pun munafik apabila mereka menganggap sebagai penjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Peringatan ini kiranya boleh berlaku bagi penguasa baru setelah pemilu nanti: janganlah mereka memperalat demokrasi untuk menyembunyikan kemunafikan kekuasaannya.
Kekuasaan itu mudah menjadi munafik karena kekuasaan itu adalah sarang bagi watak kumingsun, menyombongkan diri. Dalam wacana Jawa, kumingsun itu biasanya tidak dikenakan pada orang biasa. Apa yang bisa disombongkan oleh wong cilik, mereka, kan, tidak punya apa-apa. Sebaliknya, kumingsun itu dekat sekali dengan penguasa, yang dengan kekuasaannya mudah untuk menyombongkan diri.
Kuasa yang kumingsun adalah kuasa yang adigung-adiguna, ngorakake liyan, murka, mentala, rumangsa bisa ndepani jagad, sarwa makolehake marang diri pribadine, emoh diloroni: kuasa yang sewenang-wenang, mengesampingkan sesama, murka, tegaan, merasa bisa melangkahi dunia, hanya ingat akan kepentingan diri, tak mau disaingi.
Watak kumingsun demikian juga bisa hidup di iklim demokratis. Atau malah bisa makin hidup karena makin banyak orang berkesempatan menyombongkan diri. Menurut filsuf Michael Sandel, untuk melawan watak itu, di alam demokrasi pun orang perlu terus menghidupi keutamaan kerendahan hati.
Apabila keutamaan itu terus dihidupi, orang akan saling menghargai, saling mendengarkan, terbuka satu sama lain, bahu-membahu memikul tanggung jawab demi kepentingan umum, menjauhi ”pedoman keberhasilan” yang dasarnya adalah ambisi untuk selalu menang. Demokrasi di Barat sudah jauh dari keutamaan rendah hati itu. Maklum, mereka pun sedang krisis demokrasi.
Politik kita setelah pilpres dan pemilu nanti kiranya harus waspada terhadap watak kumingsun. Dan, berupaya untuk benar-benar mau untuk menjadi andhap asor, rendah hati. Dan kiranya, kerendahan hati itulah jalan yang paling benar dan singkat untuk benar-benar bisa berempati terhadap diri rakyat biasa, wong cilik, terutama dalam memahami penderitaan dan kemiskinannya.
Kalau wong cilik mengharapkan datangnya Ratu Adil, itu sebenarnya karena mereka ingin terbebas dari penderitaan dan kemiskinannya. Seandainya politik kita belum bisa menjangkau cita-cita yang tinggi-tinggi, asal politik itu bisa menjauhkan wong cilik dari penindasan, penderitaan, kemiskinannya, dan boleh ikut dalam proses demokrasi, dapatlah dikatakan politik sudah berhasil menjadi ”Politik Ratu Adil”.
************************
Sindhunata, Wartawan, Penanggung Jawab Majalah Basis, Yogyakarta
Sumber Tulisan Kompas 06-12-2023