Oleh Catatan Pringadi
Anno 2020
sudah lama sekali manusia saling menghindar
sehingga orang-orang tak tampak lalu-lalang
dan satu-dua berdiri terpaku dan termangu
di emplasemen stasiun tua yang sepi dan kusamseperti sedang merindukan kereta api
yang dulu ramai
dan sekarang hanya dapat dikenang
Dari sajak pertama yang menjadi judul buku ini saja kita sudah dibawa merasakan perubahan drastis antara kondisi sebelum dan setelah pandemi. Meski ya, secara akurasi, aku agak mempertanyakan. Sebab, kalau bicara kereta api, kita harus tahu dulu ini kereta jarak jauh atau bukan. Untuk KRL, stasiun tidak pernah sepi, hanya ada pembatasan yang sempat menjadi keributan di tiap stasiun. Kalau kereta jarak jauh, ya sih sempat sepi. Meski di halaman 11, ada judul sajak “Dekat Stasiun Cakung” yang juga ingin memperlihatkan kesepian itu. Nyatanya, stasiun Cakung tidaklah pernah sesepi itu. Orang-orang tetap nekat naik kereta sebab tak ada pilihan transportasi publik lain yang lebih baik.
Usaha Pak Alois untuk memperlihatkan perbandingan kondisi sosial itu sangatlah kental. Beliau bicara “Pasar Pagi” untuk memperlihatkan sepinya pembeli dan multiplier efek yang ditimbulkan. Juga ada “Terminal Pulogebang”, lagi-lagi soal kesepian.
Aroma kematian juga santer di kumpulan sajak Anno 2020 ini. Hal itu terlihat sejak puisi kedua yang berjudul “Malam Bulan Mei”. Pada sajak tersebut, beliau mengkhawatirkan ajal dalam frasa “waktumu tiba-tiba akan berhenti”, dan kematian itu makin kental dalam sajak berikut:
Lelayu
ada lelayu yang tak mungkin kauhadiri
kau hanya berani menatap mega-mega
yang perlahan diembus angin semakin tinggi ke utara
dan tatkala kedua bibirmu mengucap sebuah nama
dan melantunkan sebuah doa
semua sudah lenyap dari pandangan mata
Bahasa dalam kumpulan sajak ini sederhana dan membuat kita relatif lebih mudah memahami maknanya. Ia menggunakan frasa-frasa yang lazim dalam perpuisian, seperti “ke utara” untuk menunjukkan arah jiwa yang kembali ke Tuhan. Sajak-sajak lainnya bisa kita simak berikut ini:
Catatan Masa Pandemi
kau takkan membiarkan malam menjadi murung
belum tampak seperti menyanyi ketika angin
bergegas menyapu langit dan membersihkannya
dari mendunghanya waktu yang kaudengar tetap gemericik menetes
mengalir tanpa suara seperti peluh dan air matasampai tiba saat mengerang
nanti, hanya sekali, saat waktumu berhenti
bagai sumber air yang mengering sama sekali
Hubei
dari kolam teratai di depan vihara
kau sampai pada air terjun kecil di tengah hutan
di kaku sebuah bukit kecil yang puncaknya
menyusul ke sela-sela mega
dari jauh terdengar kau menyanyi “ave maria”
seperti gemericik air kali
dan tiupan angin pagi
Sungguh, saya menyukai sajak-sajak yang sederhana dan penuh citraan seperti ini! Mari membaca puisi.