Laporan: JB Kleden
Moderasi beragama telah menjadi program prioritas nasional dalam mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis. Sebagai satu-satunya perguruan tinggi keagamaan negeri di NTT, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang diharapkan menjadi katalisator moderasi: menjadi caring and sharing community. Tidak hanya menjadi epicentrum of growth, tetapi juga menjadi epicentrum of harmony di Provinsi Nusa Tenggara Timur, nusa teladan toleransi.
Demikian kesimpulan dari Seminar Nasional (Semnas) “Moderasi Beragama Dalam Perspektif Ilmu Sosial Keagamaan Kristen: Membangun Harmoni Di Tengah Keragaman” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan (FISKK) IAKN Kupang.
Semnas yang dilaksanakan secara online pada 5 Juli 2024 ini dibuka Rektor IAKN Kupang, Dr. Harun Y Natonis, S.Pd, M.Si. Semnas menghadirkan empat pembicara pada aras nasional, Pdt. Prof. Johm Titaley, Th.D. (UKIM Ambon), Pdt. Irene Ludji, MAR., Ph.D. (UKSW Salatiga), Pr. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo, M.A. (UKAW Kupang) an Dr. Yenry A. Pellondou, M.Si (IAKN Kupang).
Dalam sambutannya Rektor Harun Y Natonis mengatakan IAKN sudah dikenal sebagai kampus moderasi. “Kampus ini sudah dikenal sebagai kampus moderasi. Dalam menghadapi kondisi masyarakat NTT yang beragam suku, etnis dan agama, IAKN Kupang harus terdepan dalam mengamalkan sikap moderat dalam konteks berbangsa dan bernegara dengan melakukan tindakan-tindakan proaktif untuk memperkuat moderasi beragama. Di samping kampus moderasi, kita juga membangun Desa Moderasi yang menjadi binaan IAKN Kupang,” paparnya.
Karena itu Rektor berharap Semnas FISKK dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat khususnya para peserta seminar dari seluruh Indonesia untuk semakin kuat menjaga sikap moderat. “Sikap moderat akan menjaga persaudaraan baik sesama Kristen, warga bangsa, maupun umat manusia. Inilah modal membangun NTT, membangun Indonesia yang semakin kuat,” katanya.
Ketua Panitia Semnas FISKK, Maria Natalia Loban, M.Pd, Sekretaris Jurusan Ilmu Keagamaan, menjelaskan kegiatan ini merupakan upaya FISKK mewujudkan IAKN sebagai kampus moderasi. “Dengan membedah moderasi dari perspektif ilmu sosial dan ilmu keagamaan, FISKK berupaya untuk membangun kehidupan kampus IAKN yang inklusif dalam mendukung pengembangan moderasi beragama berkelanjutan bagi masa depan bersama yang lebih baik,” ujarnya.
Tema-teman yang dipilih dalam Semnas, jelas Maria Natalia, telah dirancang agar dapat digunakan masyarakat dan menambah karakter masyarakat yang kuat dengan nilai-nilai kekrisenan maupun kebangsaan dan keindonesiaannya. “Semnas ini bertujuan untuk memangun kolaborasi dan kerja sama dalam membangun dan merawat harmoni kebangsaan,” paparnya.
Pendidikan Agama Kristen Inklusif
Pdt. Prof. John Titaley, Th.D., dosen Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, dalam makalahnya “Teologi Kristen, Pancasila dan Moderasi Beragama” menegaskan Pancasila adalah sikap para leluhur bangsa terhadap semua rakyatnya, yang membuat semua suku dan agama di Indonesia berada dalam kedudukan yang setara.
“Sila pertama Pancasila menceminkaan sifat ketuhanan masyarakat Indonesia yang inklusif. Dengan demikian Pancasila menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang inlusif,” katanya.
Ketuhanan yang inklusif ini membawa konsekuensi religius bahwa semua orang Indonesia diperlakukan sama di hadapan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengakibatkan religiositas Indonesia menjadi religiositas yang inklusif-transformatif, bukan eksklusif. Inklusif-transformatif artinya menerima keberadaan warga negara Indonesia dengan beragam agama mereka masing-masing dan terbuka untuk mengalami transformasi akibat perjumpaan itu.
Dalam perspektif, Prof. John Titaley, mengharapkan Lembaga Pendidikan Agama dan Keagamaan Kristen perlu mempromosikan Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang inklusif. IAKN Kupang harus memahami keberadaannya dan apa yang harus dilakukan di NTT secara khusus dan di Indonesia secara umum.
“IAKN hidup dalam konteks Indonesia yang Inklusif, menjadi kampus moderasi seperti dikatakan Rektor, Bpk Harun Natonis, itu sangat tepat. Maka IAKN perlu mengembangkan dan mengajarkan Pendidikan Agama Kristen yang Inklusif bagi para mahasiswanya, sehingga para mahasiswa dapat menjadi teladan toleransi dan perdamaian di tengah masyarakatnya,” ujarnya.
Kajian Etika Anti Kekerasan
Pdt. Irene Ludji, MAR., Ph.D., dari Universitas Kristen Satyawacana (UKSW) Salatiga, dalam makalanya “Moderasi Beragama Dalam Etika Anti Kekerasan”, menandaskan bahwa anti kekerasan merupakan salah satu prinspi penting dalam mewujudkan perilaku beragama yang moderat.
“Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit orang yang menjalankan ajaran agama berubah menjadi ekstrem. Maka kewajiban setiap kita, termasuk lembaga-lembaga pendidikan tinggi keagamaan untuk selalu mengembangkan sikap moderat, mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama,” paparnya.
Menurut Irene Ludji terdapat dua ekstirm dalam perilaku beragama yang melahirkan tindakan-tinakan kekerasan, yakni ekstrim kanan atau ultrakonservatif atau ekstrem kanan dan ekstrim kiri atau liberal. IAKN Kupang dapat melakukan kajian filosofis anti kekerasan sebagai solusi untuk mengatasi kedua ekstrim tersebut.
Filosofi anti-kekerasan adalah posisi moral individu dalam hubungannya dengan sesama. Sikap etis anti-kekerasan berpusat pada kebenaran dalam penghargaan kepada hubungan antar pribadi. Anti-kekerasan adalah virtue, kebajikan yang berfokus pada kedamaian dan keadilan sosial, persahabatan daripada pada praktek tindak kekerasan. Dalam perspektif ini moderasi beragama adalah sebuah kebajikan.
“IAKN dapat mendorong budaya anti kekerasan melalui pembentukan masyarakat inklusif transformatif yang berbasis Pancasila melalui “Rumah-rumah Moderasi” dan Desa Moderasi Beragama,” tawarnya.
Belajar dari Gereja Perdana
Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo, Dosen Universitas Artha Wacana (UKAW) Kupang dengan makalahnya “Peran Lembaga Gereja Dalam Mewujudkan Moderasi Beragama” menegaskan agama dan negara memiliki hubungan yang sinergis. Hubungan Agama dan Negara telah digariskan para pendahulu bangsa sebagaimana tergambar dalam Pancasila.
“Agama dan negara saling mengisi, menguatkan dan bahu membahu. Negara menjamin kebebasan umat beragama menjalankan keyakinan dan keimanannya, begitu pula agama mengajarkan cinta tanah air sebagai bentuk keimanan,” papar Eben Nuban Timo.
Indonesia patut bersyukur karena telah diberikan kekuatan dalam merawat anugerah tersebut. Keberagaman dan toleransi dijaga sebagai dasar hubungan sosial. Nasionalisme telah menempatkan kepentingan bangsa berada di atas kepentingan pribadi dan golongan. “Inilah salah satu nilai kebangsaan yang telah berhasil menjaga harmoni Indonesia,” ujarnya.
Hubungan negara dan agama di Indonesia, menempatkan agama sebagai pondasi kehidupan dan negara sebagai penjaganya. Dengan demikian, keduanya harus selalu ada, rukun, dan konstruktif.
Lembaga agama memainkan peran penting dalam membangun dan membudayakan moderasi beragama dalam kehidupan umatnya. Bagi Agama Kristen, katanya, Peran Lembaga Gereja dalam mewujudkan Moderasi Beragama dapat mencontohi kehidupan Gereja Perdana. Ia menuturkan konflik dalam lingkungan internal gereja sudah menjadi semacam “kultur kekristenan”. Namun mereka selalu bersahati, bahu membahu, dan menyelesaikan perselihan dengan baik sehingga meski banyak denominasi keesaan an keutuhan Gereja selalu bertahan. “Kehidupan Gereja Peran aini adalah Model Moderasi beragama secara alkitabiah yang seyogyanya harus menjai contoh bagi setiap murid Yesus,” paparnya.
Mamat sebagai Inkubator Moderasi Beragama
Salah satu indikator lain dari Moderasi Beragama adalah menghargai tradisi dan budaya lokal. Dr. Yenry A. Pellondou, Dosen IAKN Kupang menyoroti “Solidaritas sosial dalam tradisi Mamat dan Perguruan Tinggi sebagai Inkubator Moderasi Beragama.”
Menurut Yenri, Mamat atau makan sirih dalam budaya Timur merupakan cara Masyarakat Timor memelihara relasi dan interaksi sosial serta meningkatkan solidaritas sosial dalam tatanan indegenious culture komunitas Timor . Tradisi Mamat ni bisa menadi model moderasi beragama aras lokal.
Mamat dalam penelitiannya menjai sarana menumbuhkan sikap hospitalitas, media rekonsiliasi dan komunikasi serta simbol konstruksi solidaritas sosial. Mamat mampu menumbuhkan rasa menghargai terhadap sesama, menghormati dan menjunjung nilai kemanusiaan.
“Duduk makan sirih bersama menandakan kerendahan hati komunitas Timor untuk melayani sesamanya. Mamat menjadi ruang perjumpaan antar suku berbeda dan agama berbeda dibangun menjadi satu dalam harmoni. Tradisi ini dapat menjadi media membudayakan moderasi beragama dalam kehidupan komunitas Timor,” paparnya. (*)