Ayu Utami
LEBIH dari 25 tahun silam, sekitar pukul 11 malam. Suasana di Jalan Utan Kayu mencekam. Siapa pun yang keluar dari halaman Komunitas Utan Kayu di Jakarta Timur menghadapi tiga lapis pemeriksaan oleh polisi dan tentara. Mobil dihentikan, bagasi dan jok digeledah, tas dirogoh.
Di teater yang terletak agak di bawah tanah itu sebelumnya digelar diskusi buku berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan karya pemikir Prancis, Julien Benda. Aparat mungkin curiga kaum intelektual sedang melakukan rapat menyiapkan pengkhianatan.
Hari berganti, suasana genting itu muncul kembali. Sepekan ini, rangkaian kecaman terhadap Presiden dan keprihatinan akan kondisi demokrasi disuarakan oleh civitas academica puluhan perguruan tinggi penting. Universitas Gadjah Mada, kampus asal Joko Widodo, menjadi pelopor.
Selanjutnya adalah intimidasi terhadap para rektor dan guru besar agar membuat pernyataan sebaliknya. Menteri Bahlil Lahadalia menuduh para guru besar bersikap partisan. Padahal para guru besar itu pula yang diundang menjadi panelis dalam debat calon presiden yang diadakan Komisi Pemilihan Umum. Polisi memperkenalkan istilah “cooling system” – mendinginkan suasana dengan mendesak para cendekiawan agar tak kritis – yang justru memperkuat kekhawatiran akan kembalinya rezim atoricer.
Saya teringat sebuah buku, Fragmen Sejarah Intebektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka, karya Ignas Kleden, yang berpulang pada 22 Januari 2024. Ignas adalah pelopor yang menganggap penting sejarah intelaktual Indonesia.
Ignas mengawali pemikirannya dengan pemikiran Julien Benda dan Edward Said, dan akhirnya setelah ringkasannya yang jernih tentang sejarah intelektual Barat, ia hendak membuktikan bahwa Indonesia juga dibentuk oleh kaum cendikia: Kartini,Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjabahna, Toety Heraty, dan lain-lain.
Kaum terpelajar, dalam sekujur buku Ignas, tidak diikat oleh kampus apa pun. Mereka boleh saja guru besar atau rektor. Tapi itu bukan legitimasi. Mereka adalah “intelektual publik”, gabungan dari manusia reflektif dan manusia yang bertindak yang tak digerakkan oleh politik kekuasaan. |
Di awal pembentukan Indonesia, mereka adalah kaum bumiputra yang mendapatkan pendidikan Barat. Bukan untuk mampu berpikir kritis, melainkan sekadar agar dapat berfungsi dalam masyarakat modern.
Suatu Pendidikan untuk sekadar mengash “nalar instrumental”. Tapi, kita tahu, mereka menjadi mampu mewacanakan, dalam bahasa modern, kesadaran kebangsaan dan melawan kolonialisme – sesuatu yang penting dalam pembentukan Indonesia.
Siapakah para cendekiawan di zaman ini? Menanggapi kritik paraguru besar tersebut, rohaniwan Kardinal Suharyo mengatakan para intelektual menjalankan tugas kenabian dari masa Kitab Suci, yaitu memperingatkan raja. Ignas, tak jauh dari itu, mengutip Said: merekalah orang-orang yang dengan cara tertentu mengatakan “kerajaanku bukan dari dunia ini” (saya teringat Jokowi yang pada peringatan kemerdekaan Indonesia ke-78 menggunakan busana raja Jawa).
Mungkin pernyataan itu terlalu mulia. Para professor di antaranya Harkristuti Harkrisnowo (Universitas Indonesia), Koentjoro (Universitas Gadjah Mada), Susi Dwi Harijanti (Universitas Padjadjaran) – tidak mengklaim mereka setinggi nabi atau Ilahi. Mereka menyeru soal moral, nilai, dan keteladanan yang harus ditempatkan lebih tinggi, atau lebih dasar, dari sekadar legalitas, terutama ketika legalitas diperoleh dengan melipat hukum.
Sementara itu, para pendukung Istana memanfaatkan metode kritik ala pemikiran kontemporer, yang menggeser substansi dengan telaah atas forma atau motif-motif tersembunyi. Grace Natalie, politikus Partai Solidaritas Indonesia, menyebut seruan moral disampaikan para intelektual karena mereka pendukung kandidat tertentu. Rumadi Ahmad dari Kantor Staf Presiden berkomentar bahwa perbedaan adalah bagian dari demokrasi, tapi sama sekali tidak membicarakan isi kritik. Jokowi sendiri menanggapi pendek, “Itu hak demokrasi. Harus kita hargai.” Tak satu pun dari mereka menanggapi substansi kritik. Mereka sekadar membicarakan bentuk.
Pemikir Prancis, Jacgues Ranciere, pernah bilang bahwa dunia distrukturkan oleh sejenis hierarki wicara ala Aristoteles. Ada kelompok orang yang memiliki logos, yaitu mereka yang bisa berwacana, dan kelompok lain yang, mirip hewan, hanya mengeluarkan bunyi-bunyian tanpa diskursus. Emansipasi adalah tindakan berwacana.
Ignas menulis: para inteligensia telah membuat sejarah bangsanya, sejarah berakhirnya suatu penjajahan…… Namun apakah sekarang, dalam alam kemerdekaan, kaum terpelajar tetap setia? Saya khawatir, yang dilakukan penguasa justru menganggap wacana para cendekiawan Bagai gonggongan anjing. Bunyi-bunyian tanpa logos, tanpa isi argumen.
—————————
Sumber Tulisan, Marganalia, Tempo, 18 Februari 2024