• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Minggu, Mei 25, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Ignas Kleden dan Cendekiawan

by Redaksi
Oktober 30, 2024
in OPINI
1
 Inteligensia Indonesia
0
SHARES
226
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Ayu  Utami

 

 

LEBIH dari 25 tahun silam, sekitar pukul 11 malam. Suasana di Jalan Utan Kayu mencekam. Siapa pun yang keluar dari halaman Komunitas Utan Kayu di Jakarta Timur menghadapi tiga lapis pemeriksaan oleh polisi dan tentara. Mobil dihentikan, bagasi dan jok digeledah, tas dirogoh.

Di teater yang terletak agak di bawah tanah itu sebelumnya digelar diskusi buku berjudul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan karya pemikir Prancis, Julien Benda. Aparat mungkin curiga kaum intelektual sedang melakukan rapat menyiapkan pengkhianatan.

Hari berganti, suasana genting itu muncul kembali. Sepekan ini, rangkaian kecaman terhadap Presiden dan keprihatinan akan kondisi demokrasi disuarakan oleh civitas academica puluhan perguruan tinggi penting. Universitas Gadjah Mada, kampus asal Joko Widodo, menjadi pelopor.

Selanjutnya adalah intimidasi terhadap para rektor dan guru besar agar membuat pernyataan sebaliknya. Menteri Bahlil Lahadalia menuduh para guru besar bersikap partisan. Padahal para guru besar itu pula yang diundang menjadi panelis dalam debat calon presiden yang diadakan Komisi Pemilihan Umum. Polisi memperkenalkan istilah “cooling system” – mendinginkan suasana dengan mendesak para cendekiawan agar tak kritis – yang justru memperkuat kekhawatiran akan kembalinya rezim atoricer.

Saya teringat sebuah buku, Fragmen Sejarah Intebektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka, karya Ignas Kleden, yang berpulang pada 22 Januari 2024. Ignas adalah pelopor yang menganggap penting sejarah intelaktual Indonesia.

 

Ignas mengawali pemikirannya dengan  pemikiran Julien Benda dan Edward Said, dan akhirnya setelah ringkasannya yang jernih tentang sejarah intelektual Barat, ia hendak membuktikan bahwa Indonesia juga dibentuk oleh kaum cendikia: Kartini,Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjabahna, Toety Heraty, dan lain-lain.

Kaum terpelajar, dalam sekujur buku Ignas, tidak diikat oleh kampus apa pun. Mereka boleh saja guru besar atau rektor. Tapi itu bukan legitimasi. Mereka adalah “intelektual publik”, gabungan dari manusia reflektif dan manusia yang bertindak yang tak digerakkan oleh politik kekuasaan. |

Di awal pembentukan Indonesia, mereka adalah kaum bumiputra yang mendapatkan pendidikan Barat. Bukan untuk mampu berpikir kritis, melainkan sekadar agar dapat berfungsi dalam masyarakat modern.

Suatu Pendidikan untuk sekadar mengash “nalar instrumental”. Tapi, kita tahu, mereka menjadi mampu mewacanakan, dalam bahasa modern, kesadaran kebangsaan dan melawan kolonialisme – sesuatu yang penting dalam pembentukan Indonesia.

Siapakah para cendekiawan di zaman ini? Menanggapi kritik paraguru besar tersebut, rohaniwan Kardinal Suharyo mengatakan para intelektual menjalankan tugas kenabian dari masa Kitab Suci, yaitu memperingatkan raja. Ignas, tak jauh dari itu, mengutip Said: merekalah orang-orang yang dengan cara tertentu mengatakan “kerajaanku bukan dari dunia ini” (saya teringat Jokowi yang pada peringatan kemerdekaan Indonesia ke-78 menggunakan busana raja Jawa).

Mungkin pernyataan itu terlalu mulia. Para professor di antaranya Harkristuti Harkrisnowo (Universitas Indonesia), Koentjoro (Universitas Gadjah Mada), Susi Dwi Harijanti (Universitas Padjadjaran) – tidak mengklaim mereka setinggi nabi atau Ilahi. Mereka menyeru soal moral, nilai, dan keteladanan yang harus ditempatkan lebih tinggi, atau lebih dasar, dari sekadar legalitas, terutama ketika legalitas diperoleh dengan melipat hukum.

Sementara itu, para pendukung Istana memanfaatkan metode kritik ala pemikiran kontemporer, yang menggeser substansi dengan telaah atas forma atau motif-motif tersembunyi. Grace Natalie, politikus Partai Solidaritas Indonesia, menyebut seruan moral disampaikan para intelektual karena mereka pendukung kandidat tertentu. Rumadi Ahmad dari Kantor Staf Presiden berkomentar bahwa perbedaan adalah bagian dari demokrasi, tapi sama sekali tidak membicarakan isi kritik. Jokowi sendiri menanggapi pendek, “Itu hak demokrasi. Harus kita hargai.” Tak satu pun dari mereka menanggapi substansi kritik. Mereka sekadar membicarakan bentuk.

Pemikir Prancis, Jacgues Ranciere, pernah bilang bahwa dunia distrukturkan oleh sejenis hierarki wicara ala Aristoteles. Ada kelompok orang yang memiliki logos, yaitu mereka yang bisa berwacana, dan kelompok lain yang, mirip hewan, hanya mengeluarkan bunyi-bunyian tanpa diskursus. Emansipasi adalah tindakan berwacana.

Ignas menulis: para inteligensia telah membuat sejarah bangsanya, sejarah berakhirnya suatu penjajahan…… Namun apakah sekarang, dalam alam kemerdekaan, kaum terpelajar tetap setia? Saya khawatir, yang dilakukan penguasa justru menganggap wacana para cendekiawan Bagai gonggongan anjing. Bunyi-bunyian tanpa logos, tanpa isi argumen.

—————————

 

Sumber Tulisan, Marganalia, Tempo, 18 Februari 2024

 

 

ShareTweetSend
Next Post
Belajar Efektif Gen Z dalam Mengoptimalkan Potensi

Belajar Efektif Gen Z dalam Mengoptimalkan Potensi

Comments 1

  1. Joseph says:
    7 bulan ago

    Terima kasih Pak Pazkal Bataona

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam

Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam

2 tahun ago
Kedaruratan selalu Jadi Alat berkuasanya Pemerintahan Demokrasi

Giorgio Agamben: Keadaan Darurat dan Demokrasi

11 bulan ago

Popular News

  • “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In