Agus Widjajanto
KELANGSUNGAN dari sebuah bangsa terletak pada pundak-pundak anak bangsa itu sendiri untuk mempertahankan eksistensi dari bangsa tersebut ditengah percaturan situasi global dan kawasan yang tidak menentu yang suatu saat bisa meletus konflik yang menyeret bangsa ini dalam pusaran kepentingan negara negara adi daya, dikarenakan letak nya yang sangat strategis secara geografis digaris kathulistiwa, dan dikaruniai wilayah laut yang luas dengan tiga ALKI , sebagai jalur alternatif paling efektif dalam tranportasi laut antar benua, menuju samudera Hindia , sebagai sebuah negara kepulauan.
Ada yang berpendapat dalam scenario writing, dari ahli ahli intelijen terkemuka bahwa kemungkinan Indonesia bisa bubar pada tahun 2030 seperti yang pernah disampaikan oleh Prabowo Subiyanto dalam sebuah pidato politiknya. Hal itu tergantung dari pada kesiapan dan kemauan dari para anak bangsa beserta tokoh-tokoh politik yang ada, untuk tetap berkomitment mempertahankan keberadaan dari bangsa ini yang bernama Indonesia.
Kondisi yang sangat memprihatinkan dalam penegakan hukum di negeri ini, dimana telah ditangkapnya para mantan pejabat MA yang didapatkan uang cash hampir satu trilyun, merupakan indikasi dari ketidak beresan dari para pemangku hukum dalam menjalankan tugasnya, sangat memprihatinkan dan menakutkan bagi pencari keadilan di negeri ini, bahwa teori dari Hans kelsen yang memisahkan antara hukum dan moral benar-benar diterapkan dari para aparat penegak hukum baik di lingkungan peradilan, maupun pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Bahwa hukum berlaku bagi yang punya kekuasaan baik materi maupun jabatan . Dan ini sudah jauh dari cita-cita kontitusi kita sebagai negara hukum yang dengan susah payah dan jiwa negarawan telah didirikan oleh bapak pendiri bangsa kita (founding fathers) kita. Padahal teori dari Hans Kelsen soal pemisahan antara hukum sebuah norma dengan moral berkaitan dengan pembentukan hukum dan perundanga, yang oleh H.L.A .Hart didefinisikan dalam teori kelembagaan, yakni terbentuknya lembaga peradilan, bukan menyangkut penerapan hukum dalam perspektif aparat penegak hukumnya.
Pemikiran dari para pendiri bangsa kita ini, baik Soekarno, Soepomo, Syahrir , Mohamad Hatta, Mohamad Yamin, harus diakui tidak muncul secara taken for granted, karena mereka disamping banyak belajar dari situasi negara-negara Barat (Eropa dan Amerika) saat itu, tetapi juga mempunyai rasa sensitivitas dan pemahaman yang sangat dalam tentang nilai-nilai yang mengakar dan tumbuh dari suku suku bangsa ini ( local wisdom), bahkan seorang guru besar sosiologi di Indonesia yakni Prof Satjipto Rahardjo dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswanya mengatakan bahwa ” sejatine ora ono opo-opo, seng ono kuwi dudu” (sejatinya tidak ada apapun di dunia ini, yang ada sejatinya menipu) dimana kata falsafah dalam dimensi filsafat spiritualisme Jawa tersebut sangat dalam, yang mengajarkan kita agar kembali membumi pada kearifan lokal dan ajaran leluhur dalam menyikapi situasi saat ini, yang telah digali oleh Bung Karno dalam Pancasila dengan sila-silanya, sebagai pemersatu bangsa dan sekaligus sebagai philosophische grondslag.
Pancasila sendiri lahir secara konsep perumusan Dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat Bung Karno menyampaikan pidato pandangan umum tentang perumusan Dasar Negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Dokuritsu Junbi Casakai dimana istilah Pancasila sendiri berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti prinsip atau asas dalam pedoman berbangsa dan bernegara sebagai sebuah Dasar Negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa (philocophi schegrondslag). Secara de jure Pancasila ada dan berlaku sebagai Dasar Negara sejak mulai pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari sejak Proklamasi dikumandangkan sebagai statment kemerdekaan sebuah bangsa, namun secara de facto Pancasila sebagai sebuah landasan falsafah dan pandangan hidup bangsa (Philosophische Grondslag atau Weltanschauung ) sudah ada sejak ribuan tahun, sebelum ada negara yang bernama Indonesia di bumi Nusantara ini telah hidup dan menjadi pedoman masyarakat sejak Kerajaan-kerajaan besar di Jawa dan di Nusantara ini sebagai hukum yang hidup dan berkembang yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pedoman dalam bermasyarakat dan bernegara (living law), hal ini terjadi baik sejak Mataram Hindu yang pernah mengalami masa perang agama dalam sejarah masa lalu antara dinasti Sanjaya beragama Hindu ( 732-1007 M) dan dinasti Syailendra beragama Budha, yang pada saat pemerintahan Rakai panangkaran putra Raja Sanjaya, terjadi perang agama yang begitu dahsyat dimana kerajaan terbelah menjadi dua bagian dimana Mataram Hindu berada di Jawa bagian Utara dan Mataram Budha berada dibagian selatan, yang lalu kedua golongan ini disatukan kembali oleh Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya dengan melakukan perkawinan politik mengawini Pramordhawardani dari keluarga Syailendra, yang sebagian para sejarawan meyakini bahwa Raja Rakai Pikatan yang mempunyai nama samaran “Resi Gunadarma” sebagai arsitek mendirikan candi bercorak Budha yang dikenal dengan Sambadha Budura (Borobudur) serta candi Sewu Roro Jonggrang yang bernama Candi Prambanan di Klaten perbatasan Yogyakarta. Dan sejak saat itu ajaran-ajaran luhur tentang konsepsi Pancasila sebagai living law sudah berlaku, sebagai pedoman penghormatan dalam kehidupan terhadap sesama umat beragama dan antar umat beragama sesuai sila pertama dalam Pancasila. Dan lalu dilanjutkan dalam pemerintahan Kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Singosari di Malang yang lalu dilanjutkan pada masa kerajaan Majapahit pada tahun 1293 hingga 1527 sebagai kerajaan bercorak Hindu dan Budha.
Saat Majapahit mencapai kejayaan dalam pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang Empu yang beragama Budha yakni Mpu Prapanca menulis dalam kitab Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis dalam Bahasa Jawa kuno oleh Mpu Prapanca, menginspirasi para pendiri bangsa kita (founding father) sebagai konsep dalam berdirinya negara kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.
Kakawin Nagara Kertagama ditemukan pertama kali di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1894. Pertama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4).
Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan, baik lokal (daerah dalam lingkup kadipaten), desa, maupun pusat kerajaan, mengenai masyarakat Jawa kuno pada suatu masa dan dilihat dari sudut pandang tertentu.
Kakawin Nagara Kertagama merupakan Kitab yang menjadi sumber nilai – nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia dan juga Mr. Moh. Yamin dan Mr. Soepomo dalam memberikan masukan konsep tentang Dasar Negara sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Bung Karno dalam Auto Biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (hlmn 240) menulis:
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi – tradisi kami sendiri, dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah”.
Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan International dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of The World UNESCO.
Dalam pupuh 43, Mpu Prapanca menulis “Agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama”. Disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila – sila dalam Pancasila.
Para generasi muda bangsa harus paham dan mengerti sejarah bangsanya saat negara ini dibentuk dan diproklamirkan sebagai kemerdekaan sebuah bangsa, dan sejarah sebelum lahirnya Negara Kesatuan RI, dimana sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa lepas dari pengaruh dan pendapat Mr. Soepomo, yang merupakan “Ikon” penting dalam dunia politik hukum di Indonesia, hal ini untuk menjawab dinamika politik ditengah maraknya Otonomi Daerah yang diberikan peran yang sangat besar, baik perencanaan dan pengelolaan maupun penggunakan anggaran baik yang berasal dari APBD maupun dari APBN, yang sebetulnya sudah mirip sebuah negara federal.
Dalam pidatonya di depan BPUPKI, tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia ketika merdeka. Gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang – Undang Dasar 1945 ( UUD 1945).
Kontroversi yang mengemuka saat itu adalah ide model negara Integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis, yang mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu. Dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan.
Setelah Indonesia merdeka, banyak pakar hukum ketatanegaraan menilai pemerintahan Orde Baru menerapkan gagasan yang diajukan oleh Soepomo.
Soepomo adalah seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta yang sangat memahami kontes sistem Manunggal Kawuloning Gusti. Dalam pemerintahan feodal Jawa merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin, membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia.
Sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model pemerintahan desa – desa kuno di Jawa, seperti yang tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama.
Para ahli hukum Tatanegara dalam kajiannya berpendapat bahwa Soepomo, mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-18 dan ke-19, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller dan Georg W .F. Hegel.
Diterjemahkan oleh Soepomo sebagai bentuk ketertarikannya dengan sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno – Haika dan Jerman saat itu, tidak semuanya tepat walau tidak salah, dimana Jepang sebagai negara feodal dengan Raja sebagai poros paling atas kekuasaan. Menurut Soepomo, sistem pemerintahan seperti ini sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti.
Diterapkan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada kerajaan Majapahit, dimana raja sebagai gusti atau kepala negara dengan perangkat wakilnya perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurut Soepomo, konsep individualitas ala Barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas seperti negara. Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara kawulo (rakyat) dengan pemimpin (gusti). Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan. Dimana, dalam negara integralislis ala pemerintahan Desa, tidak ada pertentangan dan selalu ada harmoni kepentingan. Ini karena negara dikelola secara kekeluargaan, layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri-sendiri sesuai kodratnya.
Marsilam Simanjuntak dalam studi yang sangat impresif soal konsep negara integralistik, dalam bukunya Negara Integralistik, menguraikan bagaimana Soepomo “membayangkan” hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel, yang mana menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta George W.F .Hegel, bukan merupakan rujukan dan memberi pengaruh kepada Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik. Sebagai seorang bangsawan keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah desa-desa adat, yang di konseptualkan dalam sistem terbentuk nya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, pendapat para filsuf Eropa pada abad ke-18 dan 19 hanya sebagai referensi, perbandingan pandangan.
Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuknya kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total melalui amandemen sampai empat kali yang jujur penulis katakan sudah kehilangan ruh dan jati diri serta arah tujuan sebagai bangsa sesuai UUD 1945 saat berlakunya Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Pada masa Orde Baru, memang tidak semuanya sempurna, wajar ada kekurangan. Dalam doktrinisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang di bunuh akan tetapi justru lumbungnya yang dibakar.
Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dulu merupakan dewan rembuk desa adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa.
Demikian juga MPR yang susunan anggotanya, terdiri dari seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan dari perwakilan agama seluruh tanah air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wakil daerah yang mewakili daerah masing-masing yang saat ini diwakili oleh anggauta DPD, yang pada masa lalu diwakili oleh gubernur, bupati, walikota yang merupakan wakil di daerah yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilan. MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dari tujuan pembangunan bangsa ini. Tertata dan terstruktur dalam jangka pendek, menengah dan panjang yang dituangkan pemerintah dalam REPELITA.
Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik yang ditulis Mpu Prapanca di Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara .
Saat ini, kewenangan MPR sudah dicabut sehingga tidak ada lagi GBHN dan REPELITA yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (kompas), petunjuk arah pembangunan tidak ada lagi. Masing-masing pemerintah daerah, dalam otonomi daerah, bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing masing. Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris presiden dan wakil presiden. Kemudian dirubah menjadi suara rakyat menjadi mandataris presiden melalui pemilu langsung. Kita sama-sama bisa lihat dan merasakan, dimana seolah kita sudah kehilangan ruhnya sebagai sebuah bangsa. Sudah bermetafora pada bangsa dengan sistem liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa tetapi harus diakui akhirnya telah terjadi pada masa kini yang telah hilang budaya guyub rukun, gotong royong, dan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan , yang ada adalah ekonomi dikuasai pemodal besar, yang kalau meminjam kata kata dari Mark Twain “ketika orang kaya memeras orang miskin hal itu disebut bisnis, tapi ketika orang miskin melawan ketidak adilan hal itu disebut kejahatan”
Menanggapi pemikiran Mr Soepomo tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Integralistik , Guru Besar Hukum Paling senior dari Universitas Padjajaran Bandung , yakni Prof Dr I Gde Pantja Astawa, punya pendapat yang mengkritik secara tajam soal pemikiran Soepomo yang tidak lagi sesuai dengan kondisi dan situasi negara demokrasi modern saat ini, dimana beliau menyatakan :
Ada dua hal prinsipil terkait dengan pemikiran Prof. Soepomo yang disampaikan dalam penyusunan UUD 1945 di BPUPKI, yaitu: Pertama, konsep Integralistiknya Soepomo yang mengadopsi model kepemimpinan raja-raja Jawa pada masa kerajaan (juga merujuk sebagai perbandingan ke Jepang, Kaisar Hirohoto dan Musolini, Italia) yang menerapkan model kepemimpinan “Manunggaling Kawulo Gusti” – bersatunya rakyat dengan pemimpinnya. Karena rakyat dan pemimpin merupakan satu kesatuan, maka tidak ada tempat bagi rakyat untuk berbicara Hak Asasi Manusia dan pemimpin diyakini sebagai wakil Tuhan di dunia yang tidak mungkin akan sewenang-wenang atau zholim kepada rakyat. Ideal, memang bila yang jadi pemimpin adalah nabi, atau paling tidak malaikat. Karena pemimpin adalah manusia tempatnya bermukim kesalahan atau kekurangan, tentu saja potensi untuk bertindak sewenang-wenang atau zholim/diktator bukanlah suatu hal yang musykil. Begitu juga HAM sebagai sesuatu yang melekat pada fitrah manusia yang merupakan karunia Tuhan, tidak dapat dinafikan keberadaannya. Itulah sebabnya, konsep Integralistik Soepomo mendapat sanggahan dari Bung Hatta, yang menyatakan bahwa konsep Integralistik berpotensi besar melahirkan Negara Kekuasaan (Machsstaat) dan perlunya diakui (diberikan) jaminan pengakuan terhadap HAM, walau hanya pokok-pokoknya, tidak juga model HAM ala Barat yang lebih mementingkan Hak daripada Kewajiban, melainkan HAM yang menjamin adanya keseimbangan antara Hak dan Kewajiban. Dengan adanya sanggahan Bung Hatta itulah, konsep Integalistik tidak jadi digunakan basis dalam konteks hubungan rakyat dan pemimpinnya.
Kedua, menyangkut konsep Republik Desanya Soepomo, diadopsi dari praktek pemerintahan desa masa lalu, yaitu adanya konsep “Rembug Desa” yang dalam kontek Indonesia merdeka dijelmakan dalam bentuk Institusi negara yang bernama MPR, Kepala Desa dijelmakan ke dalam bentuk lembaga kepresidenan dengan pemangku jabatannya yang disebut Presiden. Konsep Republik Desanya Soepomo itu di adopsi dari pemerintahan desa yang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia merdeka. Dan jadilah lalu konsep dalam UUD 1945 beserta pembukaannya sesuai UUD 1945.
Menyangkut Pancasila sebagai Philosophische Grondslag, sekaligus sebagai Weltanschauung, Prof Gde Pantja menambahkan: Sepanjang dan selama rumusan Sila-sila Pancasila tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, – sementara Pembukaan UUD 1944 merupakan, roh/jiwa, spirit, dan amanah yang menjiwai Batang Tubuh UUD 1945, maka ratio legisnya : Pancasila adalah Dasar Negara, Philosofische Grondslaag (dasar falsafah bangsa), weltanchaung/pandangan hidup bangsa, sekaligus idiologi negara. Terutama kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar (etika/moral) bagi penyelenggara negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan juga bagi segenap komponen bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum (tertulis), dan oleh karenanya menjadi penting dan strategis kedudukan Pancasila dalam konteks kehidupan bersama kita sebagai bangsa yang majemuk dalam upaya merajut persatuan dan kesatuan yang bernafaskan nilai-nilai keagamaan, HAM, demokrasi, dan keadilan sehingga bangsa ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia. Mengingat kedudukan Pancasila yang demikian penting dan strategisnya, maka menjadi sangat beralasan bila pendidikan Pancasila mulai diedukasikan kepada peserta didik sejak usia dini sampai ke level pendidikan tinggi (bagi generasi milineal/ generasi Z) melalui kurikulum pendidikan, yang berbeda dengan “Kewarganegaraan” yang diajarkan selama ini. Kalau “Kewarganegaraan”, substansinya lebih pada ‘civic education’ yang menekankan pada hak dan kewajiban warga negara dalam tataran infra struktur dan supra struktur politik ; sedangkan mata Pelajaran (mata kuliah Pancasila) lebih kepada penanaman NILAI yang terkandung dalam Pancasila.
Terlebih lagi dalam menghadapi perkembangan global dengan pesatnya kemajuan IT (berikut dengan dampak yang ditimbulkannya), menjadi penting pula diberikan pemahaman kepada seluruh peserta didik bahwa Pancasila adalah juga merupakan Idiologi terbuka, sekaligus sebagai Filter / penyaring: dimana nilai-nilai dari luar yang bisa diserap dan diadopsi dan mana pula yang diprioritaskan agar kepentingan bangsa, negara, dan rakyat terjaga dan terlindungi dari serbuan dampak buruk yang ditimbulkan dari dinamika global dan pesatnya kemajuan IT.
Harapan penulis Setelah dilantiknya Presiden terpilih Prabowo Subiyanto dan Wakil presidennya Gibran Raka Bumingraka pada hari minggu tanggal 20 Oktober, yang dalam pidato pelantikannya yang sangat berapi-api seperti halnya pidato orator Bung Karno saat sidang BPUPKI dulu, semoga mempunyai komitmen untuk melakukan kebijakan politik membangun karakter anak bangsa sesuai karakteristik anak Indonesia , dengan mempertimbangkan , kondisi situasi baik secara geo politik dan geo strategis kawasan Asia Tenggara dan global (dunia), yang telah terjadi peperangan dibelahan dunia lain seperti serangan Iran ke Israel dan balasan Israel ke Iran, perang Rusia Ukraina, potensi meletusnya konflik pulau Taiwan dengan Tiongkok dan konflik Laut China Selatan yang telah diklaim Tiongkok sebagai wilayah tradisional mereka sejak jaman kerajaan dinasti China jaman dahulu, terbentuk nya aliansi militer AUKUS yang memicu terjadinya perlombaan senjata di Indo Pasifik, serta upaya didominasi oleh kekuatan negara negara adidaya dengan doktrin-doktrin mereka, dan adanya kemajuan tehnologi informatika yang sangat sulit dibendung masuknya pengaruh budaya dan doktrin asing baik melalui media sosial maupun media massa dan media elektronik kepada generasi muda bangsa, yang seolah tidak lagi ada batas antar negara, dimana dunia dalam satu genggaman, serta untuk tetap menjaga karakter anak bangsa agar tidak lagi kehilangan jati dirinya sebagai anak bangsa yang punya karakteristik sebuah bangsa dan budaya timur, yang sejak dahulu kala telah dijiwai dengan jiwa Pancasila, maka penulis berharap, mata pelajaran dan mata kuliah Pancasila dikembalikan lagi sebagai mata kuliah dan mata pelajaran wajib pada semester awal pada pendidikan tinggi dan atau pada kelas awal pada pendidikan menengah. Agar generasi muda dapat mengenal dan memahami apa itu Pancasila, dan asas asas serta nilai-nilai dari sila-sila Pancasila sebagai Philasophisce Grondslag atau Weltanschauung dimana Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang tercermin dalam segala aktivitasnya dan menjadi pemersatu bagi ratusan suku dan banyak ras di Indonesia untuk itu agar generasi muda tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia, yang sebetulnya merupakan tugas dari BPIP ( Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ) pada pemerintahan yang lalu, tapi ternyata BPIP sendiri tidak mempunyai sebuah terobosan dalam konsep membangun karakter anak bangsa sesuai nilai-nilai ideologi Pancasila, yang jauh dari harapan, kecuali hanya sebagai badan pelengkap sebuah kekuasaan, yang tidak jelas kiprahnya.
——————————————–
Penulis: Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsanya, Tinggal di Jakarta