Oleh Armada Riyanto, CM
Apa itu “arogansi politik”? Dari mana asal usulnya? Mengapa politikus arogan?
Paus Paulus VI pernah mendefinisikan “politik” sebagai “the highest form of charity” (atau wujud tertinggi dari perbuatan kasih) yang bisa diberikan oleh manusia kepada sesamanya.
Definisi ini berhubungan erat dengan tulisan Aristoteles di buku Politics bahwa politik mengejar kebaikan tertinggi (the highest good). Karena tujuan politik disebut “tertinggi”, tujuan itu tidak bisa direduksir pada tujuan orang per orang (penguasanya), partainya, kelompoknya, atau ormas ormasnya! Aristoteles mungkin salah satu manusia pertama di planet ini yang mengajarkan bahwa politik itu mengurai kesejahteraan bagi semua (manusia). Dia-lah yang berkata, ilmu “politik” adalah “architectonic” (“arch” itu agung, “tecné” adalah kecerdasan). Jadi, politik itu mencakup segala kecerdasan manusia. Politik mencakup tata ekonomi yang akuntabel dan kondusif, etika yang excellent, kebudayaan yang menjunjung tinggi kemanusiaan, layanan kesehatan rapi dan benar, pendidikan yang mencerdaskan (bukan mbuat makin religius dangkal), lingkungan hidup yang kelestariannya dibela mati matian, keadilan hukum yang tidak pilih pilih, tata konstitusi yang tidak dibuat mainan penguasa … Yang apabila semua itu disatukan, jadinya “ilmu politik”!
Domain politik bukan di ruang sidang DPR atau kantor bupati atau presiden, tetapi NEGARA atau KOMUNITAS RAKYAT. Machiavelli, filsuf Renaissance dari Firenze, mensimplifikasi “domain politik” pada perkara kekuasaan di sekitar raja, penguasa, presiden, dan bupati. Rakyat tidak dibahasnya dalam bukunya “Il Principe“. Hak hak rakyat baru muncul pada Hobbes, Locke dan Rousseau. Tetapi, karena rakyat identik dengan “lawless”, terjadi kekacauan dalam sejarah revolusi Perancis.
Kembali kepada tema: Apa itu arogansi politik? Arogansi politik pertama-tama bukan perkara bahasa atau komunikasi verbal. Arogansi politik terlihat nyata bukan hanya seperti dikira banyak orang (terjadi di Pati), tetapi merebak bau busuknya:
– Ketika tata politik menafikan/menyepelekan hak hak rakyat.
– Ketika kebijakan publik menyusahkan rakyat secara terus-menerus dan mengancam rakyat dengan menggusur tanah dan mengancam diberikan ke ormas (Ormas seakan akan menjadi kriteria pemecahan segala kebuntuan dan ketidak-becusan managemen; seakan akan ormas tahu segala managemen bisnis negara, Dhuh!).
– Ketika penguasa secara semena mena mengambil keuntungan dari kesusahan rakyat.
– Ketika rakyat ditipu penguasa atau pejabat, diblokir hak haknya, diperas dengan berbagai cara lewat aneka kebijakan aneh-aneh.
– Ketika para politikus mengira rakyat bodoh dan cuma bisa ngikut kebijakan mereka tanpa punya daya kritik.
Arogansi politik terjadi ketika pejabat mengancam, memperdayakan rakyat (hingga kesulitan mencari kerja), menyerobot tambang tambang dan memberikannya kepada ormas ormas (padahalnya tugas pemerintahan untuk memberikan segala kekayaan negara kembali kepada seluruh rakyat Indonesia (bukan ormas ormas!). Tidak ada dalam Konstitusi kata “ormas” punya hak atas kekayaan negara. Kekayaan itu untuk seluruh rakyat Indonesia!
Arogansi mudah terjadi ketika korupsi hanya menjadi berita koran dan televisi murahan, sementara uang sitaannya tidak tentu rimbanya. Padahalnya yang yang dikorupsi bisa digunakan untuk mbayar cicilan hutang negara!
Arogansi juga mudah berlangsung, tatkala ratusan atau mungkin ribuan trilyun dana APBN digunakan untuk program program Politik yang tidak produktif. Sementara, beban hutang negara dipanggulkan ke pundak rakyat yang sudah babak belur oleh susahnya cari makan.
Asal usul arogansi politik berasal dari kesadaran pemahaman yang buruk tentang apa itu “politik”. Sebagai bangsa yang pernah dijajah bangsa asing Belanda, Jepang, jauh sebelumnya Portugis, dalam naluri alamiah kita, terdapat kecenderungan untuk meniru model model bagaimana penguasa kolonial dahulu memeras rakyat. Menjadi “penguasa” seakan akan bisa melakukan apa saja dan mengambil apa pun dari rakyat dan negara. Masih ditambah dengan karut marut program politik yang partisan, pengetahuan komunikasi politik yang dangkal dari para pejabat (seperti pemblokiran rekening untuk melindungi; padahal ibu yang harusnya membayar obat, tidak bisa dan karenanya mati), dan budaya “tidak akuntabel” yang nyata di semua lini kehidupan sehari-hari. BUMN-BUMN yang diberitakan korupsi, seakan tidak pernah mendapatkan solusi yang meyakinkan.
Mengapa politikus arogan? Salah satu jawabannya ialah mereka sesungguhnya sedang melakukan “survival” dalam cara yang keliru. Agar dikesani tegas, mereka bersuara keras dan menantang. Agar dikesani jujur, mereka bicara “medok” dan senyam senyum. Agar dikesani peduli rakyat kecil, mereka memberi makan siang gratis (dengan cara membebani APBN). Agar dikesani bekerja, mereka mengumumkan kebijakan publik menaikkan pajak hingga 200 sampai 500 persen. Artinya, para politikus / pejabat kita (tidak semuanya tentu saja) berada dalam kesadaran kurang bermutu terkait bagaimana memajukan kehidupan rakyatnya sedemikian rupa sehingga tujuan tertinggi, kesejahteraan bersama, dapat diraih.
Para politikus kita melupakan kodrat politik, yaitu politik sebagai pengabdian dan pelayanan tertinggi “charity” untuk semua warganegara. Tidak ada “kerendahan hati politik” dan itu tidak diperlukan. Tetapi, tatanan politik yang adil dan kondusif, secara absolut dibutuhkan rakyat, dan harus diperjuangkan. Selamat menyongsong perayaan 80 Tahun Indonesia merdeka, kawan. Sayangnya, kita kini seperti “terjajah lagi” oleh politik arogansi. Semoga “keterjajahan” ini segera berakhir.
—————–