Di ruang baca sekolah Strada Peduli, lima murid duduk melingkar mengitari sebuah meja kayu tua yang penuh buku dan catatan. Bau khas kertas yang sudah lama tersimpan berpadu dengan cahaya sore yang menyusup lewat jendela besar, menciptakan suasana yang tenang sekaligus hangat.
Rinto, yang dikenal di antara mereka sebagai penggemar sejarah, membalik halaman sebuah buku tebal bergambar hitam putih. Matanya berbinar saat menemukan bab yang membuatnya ingin segera berbagi.
“Kalian tahu nggak, ada tokoh yang disebut Bapak Pendidikan Katolik di Indonesia? Namanya Romo Frans van Lith,” ucapnya sambil menunjuk foto seorang pria berwajah tegas namun ramah.
Alex, yang duduk bersandar santai, mengangkat alis penuh rasa ingin tahu. “Van Lith? Orang Belanda, kan? Apa istimewanya sampai dia mendapat gelar itu?” Nada suaranya mengandung sedikit keraguan, namun matanya menunjukkan kesiapan untuk mendengar cerita lebih lanjut. Ia paham, Rinto jarang mengungkap sesuatu tanpa alasan kuat.
Rina, yang duduk di sebelah Alex, segera menyahut sambil merapikan catatan di pangkuannya. “Beliau datang ke Jawa tahun 1896, lalu pada tahun 1904 mendirikan sekolah guru di Muntilan. Bayangkan, di masa itu hampir tidak ada orang Eropa yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk mendidik penduduk Bumiputera. Apalagi, pendidikan saat itu lebih banyak terbatas bagi kalangan tertentu saja.” Nada bicaranya penuh semangat, membuat Alex mulai mengubah ekspresi wajah menjadi lebih serius.
Nita, yang biasanya jarang berbicara, kali ini menunduk sejenak sebelum angkat bicara dengan nada yang mantap. “Yang membuatnya luar biasa adalah cara beliau memandang pendidikan. Pendidikannya bukan cuma soal agama, tapi juga membentuk karakter, melatih disiplin, dan membekali murid dengan ilmu modern. Banyak muridnya kelak jadi tokoh besar, seperti I.J. Kasimo dan Mgr. Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama yang menjadi Pahlawan Nasional.” Kata-katanya membuat suasana menjadi lebih khidmat.
Jefri, yang sejak tadi hanya menyimak, tiba-tiba mengangkat kepalanya. “Aku kagum sama keberanian beliau. Pada masa itu, pasti ada banyak tantangan—baik dari masyarakat, budaya, maupun keyakinan setempat. Tapi beliau tetap melangkah dengan keyakinan yang teguh.” Rinto mengangguk, seolah-olah menyetujui setiap kata yang diucapkan.
Rinto menutup buku perlahan, memberi jeda agar cerita yang baru saja dibagikan dapat meresap. “Keutamaan Romo Van Lith jelas, yakni cinta tanah air, keberanian memperjuangkan pendidikan, dan kesediaan hidup bersama rakyat kecil. Dia nggak hanya mengajar di kelas, tapi membentuk jiwa murid-muridnya. Itu jauh lebih berharga daripada sekadar pengetahuan di buku.” Suaranya terdengar dalam, seakan-akan ia sendiri pernah berada di masa itu.
Alex, yang awalnya terdengar skeptis, kini mulai tersenyum. “Kalau begitu, kita memang bisa belajar banyak dari sikapnya. Pendidikan itu ternyata bukan cuma teori atau angka di rapor, tapi juga teladan hidup yang diberikan oleh seorang guru.” Ia menatap teman-teman, sepertinya mengundang mereka ikut memikirkan makna kata-katanya.
Rina mengangguk sambil menatap keluar jendela. “Iya, dan mungkin kita juga harus mulai melihat pendidikan sebagai cara membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar mencetak orang pintar. Romo Van Lith membuktikan bahwa mendidik itu sama artinya dengan membangun masa depan.” Ucapannya membawa suasana hening sejenak.
Nita menarik napas pelan, matanya masih menatap halaman sekolah yang mulai diselimuti cahaya jingga. “Bayangkan kalau semangat itu bisa kita hidupkan lagi di zaman sekarang. Dunia pendidikan kita pasti akan lebih hangat dan bermakna.” Nada suaranya tenang, tapi penuh keyakinan.
Jefri menambahkan sambil tersenyum tipis, “Mungkin itu maksudnya melanjutkan jejak beliau. Kita nggak harus jadi imam atau guru besar. Kita bisa mulai dari hal sederhana, seperti membantu teman yang kesulitan belajar atau ikut kegiatan sosial.” Ia menatap Rinto, mencari tanda bahwa pendapatnya sejalan.
Rinto tersenyum lebar. “Benar. Romo Van Lith mengajarkan bahwa pendidikan sejati adalah yang menumbuhkan hati dan akal. Kalau kita bisa mempraktikkannya meski dalam lingkup kecil, itu sudah langkah besar.”
Di luar, matahari sore memantulkan sinarnya ke meja tempat mereka duduk, seolah-olah memberi penerangan pada tekad lima murid Strada Peduli. Mereka merasa sedang memegang sebuah warisan—bukan berupa benda, tetapi semangat yang pernah dinyalakan di tanah Jawa oleh seorang Romo dari Oirschot.
Bagi mereka, kisah itu bukan sekadar catatan sejarah yang terpatri di halaman buku. Itu adalah undangan untuk terlibat, untuk melanjutkan obor pendidikan yang pernah dinyalakan lebih dari seabad lalu. Dan sore itu, di ruang baca yang tenang, lima hati muda berjanji dalam diam untuk menjaga cahaya itu tetap hidup.
********************
