Oleh Helena Lose Beraf
Di negeri ini,
ada orang yang hilang
bukan karena lupa jalan pulang,
tetapi karena kebenaran
tak pernah dibiarkan tumbuh.
Namamu, Wiji,
dicatat sebagai tanda tanya,
bukan karena engkau rapuh,
melainkan karena kuasa takut
pada kata-katamu.
“Apabila rakyat tidak berani marah,
penguasa akan semakin berkuasa.”
Kau sudah menuliskannya,
dan sejarah membuktikannya—
mereka yang berkuasa
selalu gemetar pada kata yang jujur.
Kursi kosong di ruang tamumu
adalah bukti paling telanjang:
ada ayah yang direnggut
oleh tangan gelap yang merasa berhak
menentukan siapa boleh bicara,
siapa harus hilang.
Tapi mereka lupa,
kau bukan sekadar tubuh.
Kata-katamu telah menjelma rakyat,
dan rakyat tidak bisa dikuburkan.
“Ia tak mati-mati meski bola mataku diganti”.
Engkau Wiji—
benih yang dilempar ke tanah luka.
Semakin ditekan, semakin tumbuh.
Semakin dibungkam, semakin nyaring.
Dari tanah itu mekar bunga,
bunga keberanian
yang tetap wangi meski diinjak sepatu kuasa.
Mereka membangun tembok setinggi langit,
mengira bisa menutup suara,
tapi tembok itu retak—
sebab suara selalu mencari celah,
sebab bunga selalu tahu jalan keluar.
Wiji,
kau mungkin diseret senyap,
tapi di setiap palu yang menghantam tanah,
di setiap teriakan buruh yang menagih haknya,
di setiap poster yang diangkat mahasiswa,
kau berdiri,
kau bicara,
kau melawan.
Dan selama rakyat masih berani bermimpi,
suaramu tak bisa dipadamkan.
Di negeri yang menelan tubuhmu,
kau tetap tumbuh.
“Dia tak mati-mati meski bola mataku diganti,”
“Ia tak mati-mati meski bercerai dengan rumah
dan ditusuk-tusuk sepi.”
Selamat ulang tahun, Wiji Thukul🌹