Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
Di sebuah kota kecil tersembunyi di sudut Negeri Antaberantah, berdirilah sebuah sekolah tua bernama SMA Tunas Lestari.
Usianya sudah menginjak 70 tahun lebih, terukir di setiap retakan dindingnya dan lumut yang membalut atapnya.
Namun, di balik namanya yang indah, sekolah ini menyimpan kisah yang ironis. Julukannya di antara penduduk lokal bukanlah “Tunas Lestari” melainkan “Sekolah Apes,” sebutan yang mencerminkan nasibnya yang tak pernah beruntung.
Mengapa demikian? Karena sekolah ini seolah-olah ditakdirkan tidak pernah menghasilkan orang sukses dalam kaca mata duniawi. Sebagian besar lulusannya, jika tidak bisa dikatakan semua, bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan tambang peninggalan bangsa penjajah.
Mereka meneruskan jejak orang tua dan kakek-nenek mereka, terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pekerjaan yang berat. Sekolah ini seolah menjadi stasiun pemberhentian terakhir sebelum masuk ke dunia kerja yang monoton dan tanpa harapan.
Pak Rahmat, seorang guru sejarah yang telah mengabdi selama 40 tahun, adalah saksi bisu dari kemunduran sekolah ini. Ia melihat bagaimana satu per satu ruang kelas menjadi kosong, bagaimana tawa riang siswa perlahan menghilang, dan bagaimana semangat belajar yang dulu membara kini hanya menjadi bara yang hampir padam.
Di mata Pak Rahmat, SMA Tunas Lestari bukanlah sekadar bangunan, melainkan rumah kedua, tempat ia menghabiskan sebagian besar hidupnya.
Puncaknya terjadi di tahun ajaran terakhir. Hanya tersisa tujuh orang murid yang mendaftar. Tujuh orang ini, yang terdiri dari Agung, Bentar, Rosi, Ratna, Nita, Agus, dan Sukri, menjadi angkatan terakhir dan penutup lembaran sejarah SMA Tunas Lestari. Mereka adalah generasi terakhir yang merasakan kehangatan dan dedikasi Pak Rahmat dan beberapa guru lain yang tersisa.
Pak Rahmat mendidik mereka dengan seluruh hati, seolah-olah mereka adalah masa depan yang harus ia selamatkan.
Tujuh murid itu tidak punya pilihan lain. Sekolah-sekolah lain terlalu jauh atau terlalu mahal. Mereka pun menerima nasib untuk bersekolah di tempat yang dianggap “buangan” ini. Namun, ada keajaiban di antara mereka. Meski minim fasilitas dan guru yang terbatas, mereka saling melengkapi.
Agung yang jago matematika mengajari Bentar, Rosi yang piawai berbahasa mengoreksi tulisan Ratna, dan seterusnya. Mereka menciptakan “sekolah” kecil mereka sendiri di dalam sekolah yang sekarat.
Hari kelulusan tiba. Tangis haru dan sedih menyelimuti halaman sekolah yang sepi. Pak Rahmat memeluk satu per satu muridnya. “Jangan pernah merasa kecil karena kalian lulusan sekolah ini,” bisiknya pada mereka. “Kalian punya kelebihan yang tak dimiliki orang lain. Kalian punya semangat yang tak mudah padam.”
Setelah kelulusan, pintu SMA Tunas Lestari pun tertutup. Gerbangnya digembok, jendelanya tertutup debu, dan papan namanya perlahan memudar. Pak Rahmat pensiun dan pulang ke kampung halamannya. Ia menyimpan kenangan tentang tujuh murid terakhirnya, berharap mereka bisa menembus batas-batas yang selama ini membelenggu para lulusan SMA Tunas Lestari.
Lima belas tahun berlalu. Pak Rahmat sedang duduk di teras rumahnya ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang. Keluar dari mobil itu, tujuh orang dewasa yang sukses.
Mereka adalah Agung, Bentar, Rosi, Ratna, Nita, Agus, dan Sukri. Wajah mereka berseri-seri, senyum mereka tulus, dan di mata mereka, Pak Rahmat masihlah guru yang mereka cintai.
Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Agung kini menjadi manajer di sebuah perusahaan tambang terbesar di kota itu, perusahaan yang dulu memperkerjakan lulusan SMA Tunas Lestari sebagai buruh kasar. Ia mereformasi sistem kerja dan memberikan kesempatan pendidikan bagi para pekerjanya.
Bentar menjadi pemilik perkebunan kopi sukses dan mengekspornya ke berbagai negara, membuka lapangan kerja bagi penduduk desa. Rosi menjadi seorang jurnalis investigatif yang terkenal, menyuarakan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat kecil.
Sementara Ratna mendirikan sebuah yayasan sosial yang fokus pada pendidikan anak-anak kurang mampu, memastikan tak ada lagi sekolah yang bernasib sama seperti SMA Tunas Lestari.
Tak hanya itu, Nita menjadi seorang arsitek ternama yang merancang gedung-gedung ramah lingkungan di kota-kota besar.
Agus menjadi dokter spesialis bedah yang mengabdi di daerah terpencil, memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka yang membutuhkan. Dan Sukri, yang dulu dikenal paling pendiam, menjadi seorang dosen terkenal di universitas ternama di negeri seberang, seorang ahli sejarah yang seringkali mengutip kisah SMA Tunas Lestari sebagai contoh bagaimana semangat bisa mengalahkan keterbatasan.
Mereka berkumpul kembali untuk menemui guru tercinta. Mereka bercerita bahwa setelah lulus, tak menyerah dengan keadaan. Mereka belajar dari pengalaman, memanfaatkan semangat yang diajarkan Pak Rahmat, dan saling membantu satu sama lain.
Mereka tak malu menyebut diri lulusan SMA Tunas Lestari. Justru, bangga, karena dari sekolah itulah mereka belajar arti perjuangan, keteguhan, dan harapan. Pak Rahmat meneteskan air mata haru. Ia tidak pernah menyangka, tujuh orang terakhir itu, yang seolah menjadi penutup tirai penderitaan sekolahnya, justru menjadi pembuka jalan baru.
Mereka membuktikan bahwa kesuksesan bukan diukur dari nama besar sekolah, melainkan dari semangat dan hati yang tak pernah menyerah. SMA Tunas Lestari memang tak pernah menghasilkan orang sukses di masa jayanya, tapi di saat-saat terakhirnya, ia melahirkan tujuh orang luar biasa yang mengubah takdir mereka dan orang-orang di sekitarnya.
****************