Oleh Rofinus Pati
Adalah pemikir Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832) yang menemukan konsep panopticon pada abad ke-18 tentang penjara ideal. Penjara ideal dilengkapi dengan menara pengawas yang berada di tengah penjara untuk melihat, memantau semua tahanan. Menara pengawas, yang sekarang ini berkembang menjadi kamera monitor, bertujuan untuk mengamati, sekaligus mengontrol perilaku para tahanan di dalam penjara, meskipun para tahanan barangkali tidak melihat orang di atas menara itu.
Panopticon akhirnya sangat membantu pegawai penjara sebab melihat dari posisi strategis, sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih maksimal, efisien dan efektif. Para tahanan mungkin pada awalnya tidak mengetahui bahwa gerak geriknya sedang dipantau, tetapi lama-kelamaan menjadi tahu dan muncul kemauan untuk berlaku baik, sebab ada mata lain yang selalu mengawasi dari ketinggian menara.
Konsep panopticon ini (Yunani : “Pan” = “semua; seluruh” dan “opticon”, “optikos” = “penglihatan”, “penampakan”, “pengamatan”) kemudian diadopsi sekaligus diperluas oleh Michel Foucault (1926-1984) dalam ranah kekuasaan dan kontrol sosial. Kekuasaan dalam sudut pandang Foucault berbeda dengan kekuasaan pra-modern yang berada dalam tangan seorang penguasa berdaulat, bahkan mutlak. Seperti akan dibahas berikut ini, Foucault berpikir sebaliknya terkait kekuasaan dan kontrol sosial.
Interaksi Sosial dan Kekuasaan Tingkat Lokal
Foucault tidak tertarik dengan studi tentang narasi-narasi global sebab hal-hal itu jauh dari jangkauan pemikiran dan pemahaman orang-orang sederhana. Kesimpulan yang ditarik pun hanya menurut kaca mata umum atau global, yang bisa saja tidak sesuai dengan sudut pandang orang-orang setempat.
Foucault lebih memfokuskan perhatian pada pelbagai interaksi sosial di tingkat lokal, sebab sering kali terjadi konflik-konflik sosial yang tidak dapat dipahami melalui teori-teori global. Foucault lebih menyoroti hal-hal kecil, tetapi justru dianggap sangat penting seperti sekolah, rumah sakit, penjara, militer, universitas dan lain-lain. Interaksi sosial ini tidak terlepas dari kekuasaan dan bagaimana sistem kekuasaan itu diterapkan dan berpengaruh dalam kehidupan nyata.
Pemikir Kees Bertens merangkum secara jeli empat arti kekuasaan menurut Foucault yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari konsep kekuasaan di zaman pra-modern. Keempat konsep kekuasaan tersebut dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut:
Pertama, kekuasaan bukanlah milik tetapi strategi. Di dalam masyarakat pra-modern, kekuasaan berada dalam tangan seorang penguasa mutlak. Kekuasaan menjadi milik satu orang dan dijalankan secara terpusat, ketat, bahkan penguasa bisa menganggap diri sebagai sumber kebenaran dan menuntut kepatuhan total. Semua masyarakat wajib mendengarkan dan mengikutinya dengan taat sekaligus takut oleh ancaman fisik jika terjadi pelanggaran.
Bagi Foucault, kekuasaan adalah cara, bagaimana menjalankan pengaruh, bagaimana melakukan kontrol atau pengawasan, sehingga menjadi efektif dan berdampak bagi banyak orang. Kekuasaan tidak menjadi milik atau berada di dalam satu tangan saja, sehingga berpeluang terjadinya kesewenang-wenangan. Para pemimpin atau raja-raja kecil di zaman dahulu terbukti menerapkan kekuasaan mutlak, bahkan bertangan besi, sebab kekuasaan dianggap milik pribadi.
Dalam konteks sekolah dan agama sebagai institusi, kepemimpinan dengan gaya purba seperti ini sudah lama tidak mendapat tempat lagi. Lebih tepat dikatakan kepemimpinan. Pimpinan sekarang dipilih oleh panitia kecil atau tim khusus yang menangani proses pemilihan dari awal sampai akhir. Tidak relevan memikirkan bahwa pimpinan di satu sekolah atau agama resmi di Indonesia, mempunyai kekuasaan sangat besar seakan-akan pimpinan itu hak milik yang diwariskan dari kakek moyangnya.
Searah dengan pemikiran Foucault, kepemimpinan perlu lebih menekankan cara, bagaimana pengaruh atau wewenang sebagai pemimpin dijalankan semestinya, sehingga roda institusi berjalan lancar dan membawa kebaikan bagi semua orang.
Kedua, kekuasaan tidak dapat dibatasi, dilokalisir, tetapi terdapat di mana-mana. Kekuasaan yang pada era pra-modern terpusat dalam satu tangan penguasa, kini sudah berubah. Kekuasaan sudah diambil alih oleh produk-produk teknologi yang mampu dioperasikan sebagai pengamat dan pengawas. Kamera monitor atau kamera pengintai (di zaman Foucault: menara pengawas) merupakan perpanjangan tangan kekuasaan yang bisa menyebar ke mana saja, dipasang di mana saja dan dipakai untuk mengawasi atau mengontrol perilaku manusia.
Dalam konteks sekolah dan agama sebagai institusi, kewenangan tidak lagi terpusat pada satu orang. Sudah ada pembagian kerja dalam tim atau struktur dengan gambaran tugasnya masing-masing, sehingga menyebar dan berdampak pada kepentingan bersama. Termasuk juga pemanfaatan produk-produk teknologi digital yang membantu pekerjaan manusia, seperti robot, infokus, drone, dan lain-lain.
Ketiga, kekuasaan tidak selamanya menidas atau menekan, tetapi kekuasaan juga bisa tampak dalam regulasi atau norma-norma hidup bersama yang menagih ketaatan dari setiap orang di instansi manapun. Aturan atau kaidah-kaidah yang dibuat ‘menguasai’ manusia, sehingga setiap aturan harus dijalankan sebagaimana mestinya untuk menjamin hak dan kewajiban setiap orang; untuk kebaikan bersama (bonum commune)
Dalam konteks sekolah dan agama sebagai institusi, seperangkat peraturan atau tata tertib, tidak bermaksud menindas, mengekang kebebasan, melainkan menjamin kebebasan setiap orang sehingga tetap menghargai kebebasan orang lain. Peraturan baik di sekolah maupun agama, pada awalnya barangkali dirasakan mengekang kebebasan, namun bertujuan membantu peserta untuk bertumbuh dan mengembangkan semua potensinya demi kebaikan diri dan bersama.
Keempat, kekuasaan tidak hanya bersifat destruktif, tetapi juga produktif. Kekuasaan tunggal atau mutlak di tangan satu orang telah melahirkan kekerasan fisik dan menghancurkan kepribadian, harkat dan martabat manusia.
Kaisar Nero pada zaman Romawi Kuno yang merasa puas menonton orang-orang Kristen dimangsa harimau lapar di koloseum, merupakan salah satu wujud nyata dari praktik kekuasaan yang bersifat destruktif. Namun bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya meruntuhkan, menghancurkan, tetapi juga membangun dan menghasilkan banyak produk teknologi yang bisa membantu manusia dalam menjalankan kehidupannya.
Dalam konteks sekolah dan agama sebagai institusi, peraturan dipasang bukan untuk menyiksa orang, melainkan mengajarkan bagaimana harus menahan semua keinginan demi suatu nilai yang lebih tinggi dan besar di masa depan.
Aturan bukanlah penghalang jalan, tetapi menjadi seperti jembatan titian untuk melangkah menuju hari esok penuh keceriaan dan kepercayaan diri.
Ruang Kelas, Ruang Doa dan Peserta Didik
Satu hal sejak awal harus menjadi jelas di sini bahwa ruang kelas, ruang doa bukanlah penjara bagi peserta didik. Bahkan, ruang kelas maupun ruang doa yang dilengkapi kamera monitor misalnya, pertama-tama tidak bermaksud menjadikan kedua ruangan itu seperti penjara. Jika dianggap demikian, maka akan mereduksi arti yang sebenarnya dalam konteks sekarang.
Panopticon menurut Foucault dalam tulisannya tentang “Discipline and Punish” (1975) mengacu pada gedung penjara sebagai upaya menciptakan kontrol sosial baru. Gedung penjara sangat membantu para tahanan guna menata ulang hidupnya atau berperilaku sebagaimana mestinya. Menara pengawas atau kini kamera monitor yang memantau para tahanan merupakan bentuk perpanjangan kekuasaan dari para pegawai penjara.
Selain itu, penjara sebagai kontrol sosial dalam arti bahwa masyarakat boleh merasa nyaman dengan kehadiran gedung penjara, sehingga setiap individu yang melakukan pelanggaran tidak berkeliaran bebas yang justru semakin meresahkan masyarakat, melainkan ‘diamankan’, ditampung, dilokalisir, dikontrol dan dibina pribadi serta jiwanya selama jangka waktu tertentu. Dalam konteks ini, penjara merupakan bentuk kontrol sosial demi perubahan sikap atau pembaharuan diri para penghuninya.
Salah satu fokus pemikiran Foucault tentang tujuan kontrol sosial lewat penjara ideal (panopticon), tidak hanya mengarah ke hal-hal fisik saja, melainkan menyentuh jiwa, membentuk kepribadian seseorang, personalitasnya. Hukuman fisik tidak relevan lagi seperti di era pra-modern, sebab manusia sudah berjalan jauh ke depan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
Ruang kelas dan ruang doa, secara kaku dalam pandangan Foucault, dapat merupakan ‘penjara’ kecil bagi peserta didik. Mengapa? Sebab, di sana, kekuasaan bisa hadir dalam bentuk perencanaan atau kebijakan, yang membatasi satu ruangan segi empat hanya berukuran sekian meter untuk panjang dan lebar, ideal hanya untuk berapa orang peserta didik, dengan fasilitas yang diperlukan untuk ‘menundukkan’, ‘menjinakkan’, ‘membungkam’ badan peserta didik.
Kamera monitor, meja, kursi dan bangku-bangku sudah disetting sedemikian, sehingga setiap peserta didik dapat menempatinya, entah secara pribadi maupun bersama dengan yang lain. Dengan demikian, kontrol terhadap peserta didik dapat berjalan tertib dan teratur, sebab fisiknya dikondisikan, ‘tersandera’ di dalam ruangan.
Institusi yang Mendisiplinkan
Namun demikian, sekali lagi, tujuan kontrol sosial menurut Foucault bukanlah badan, fisik, melainkan jiwa, kepribadian, personalitasnya. Ruang kelas dan ruang doa (baca: rumah ibadah), tidak bermaksud mengekang fisik peserta didik, tetapi untuk mengarahkan dan menyentuh nuraninya selama proses kegiatan belajar mengajar maupun berdoa, membangunkan kesadaran diri agar peserta didik dapat menjadi orang yang lebih baik setiap hari.
Ruang kelas dan ruang doa, apalagi di kampung-kampung, menjadi tempat sangat penting bagi peserta didik untuk menertibkan dirinya, sehingga selalu berdisiplin, menempatkan dirinya pada waktu, tempat dan kegiatan tertentu. Bagaimana peran para pendidik di ruang kelas dan ruang doa berhadap dengan peserta didik, remaja zaman sekarang, yang digolongkan Generasi Z.
Peserta didik, remaja zaman ini, yang sering dikomentari bernada sinis, memang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi sesudah itu lebih banyak dididik dan dimanjakan oleh media sosial. Akibatnya sejauh ini sudah cukup parah dan bahkan bisa semakin parah.
Beberapa contoh sudah cukup. Peserta didik lebih sering menggunakan jasa kalkulator, sehingga sulit menghafal perkalian. Peserta di sekolah lebih sering menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu di sekolah, sehingga sulit berbicara Bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Selain itu, peserta didik lebih sering diam membisu, mengutak-atik handphone, sehingga sulit membaca secara lancar. Jarang berbicara dan ketagihan bergumul dengan handphone dalam diam, bisa berdampak serius pada kesulitan berbicara. Peserta didik lebih sering mendengarkan dan menyaksikan tayangan (audio visual) di handphone, berdampak pada kemalasan dalam menulis atau mencatat. Bahkan, kalau pun mencatat, maka catatan tidak lengkap.
Tambahan lagi, fakfor-faktor lain turut juga berpengaruh seperti perkembangan hormon pada diri remaja, pencarian jati diri, tekanan dari teman sebaya, urusan cinta yang kandas, kehendak untuk mandiri atau otonom, sehingga ingin ‘melawan’ sistem atau institusi dan lain-lain. Semuanya ini membuat peserta didik semakin ‘liar’ dan semakin sulit dikendalikan.
Kembali pada peran figur-figur utama dari kedua institusi di atas yang perlu memikul tanggung jawab dan dibantu untuk bisa bekerja maksimal. Sungguh tidak dapat dipungkiri bahwa untuk ukuran di kampung-kampung, pada saat ini dan di kemudian hari, sekolah-sekolah dan rumah-rumah ibadah menjadi tempat ‘menabur’ sekaligus ‘merawat’ karakter dan iman secara massal sebab mempunyai banyak peserta didik sekaligus umat.
Setiap hari, anak-anak desa berbondong-bondong berangkat ke sekolah dari tingkat TKK/PAUD, SD, SMP maupun SMA. Kemudian, pada hari-hari tertentu, berangkat ke rumah ibadah. Keluarga memang tidak mengingkari tanggung jawab terhadap anak-anaknya, sebab keluarga adalah sekolah karakter dan sekolah iman pertama kali bagi anak-anak di rumah.
Namun, peran keluarga berada di ruang privat, bahkan banyak keluarga (orangtua) yang barangkali terlalu sibuk bekerja atau kesulitan mengatasi perilaku anak-anaknya, lalu menyerahkan sebagian besar tanggung jawab pendidikan anak-anaknya kepada sekolah, apalagi persis anak berusia sekolah.
Catatan untuk Foucault dan Kita
Sekolah-sekolah dan ruang-ruang doa bukanlah penjara bagi peserta didik selama sekian jam, tetapi ruang-ruang yang memoles jiwa. Kedua institusi ini, setiap hari atau secara rutin bertemu, berhadapan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan para remaja yang datang dari pelbagai latar belakang.
Keduanya mempunyai aturan yang mengikat, namun bukanlah kekuasaan. Ini bertujuan membangun karakter, menyentuh personalitas peserta didik. Para guru dan pendidik mewajibkan diri untuk hadir di ruang-ruang kelas dan berusaha bersama peserta didik mengatasi tantangan-tantangan yang sudah dipaparkan di atas.
Para pendidik di sekolah, perlu memikirkan strategi untuk mengatasi kesulitan anak dalam menghafal perkalian, membaca terbata-bata, sulit berbicara Bahasa Indonesia standar, malas mencatat atau mencatat tidak tuntas, dan lain-lain.
Peserta didik diberikan lebih banyak kesempatan untuk mencakar pelajaran ilmu pasti, dikawal untuk selalu berbahasa Indonesia, diwajibkan menulis atau mencatat, memberikan waktu untuk berbicara, tampil presentasi, bernyanyi, berpuisi, berdeklamasi, public speaking, teater dan lain-lain untuk melawan tantangan-tantangan yang sedang mengganyang remaja kita.
Begitu pula, di ruang-ruang doa, tokoh-tokoh agama perlu membawakan kotbah-kotbah yang meneduhkan hati, damai, menguatkan, menyentuh kalbu dan membangun kesadaran serta semangat peserta didik untuk berubah dan berusaha menjadi lebih baik setiap hari dan terus belajar meraih masa depan. Keteladanan pun patut menjadi prioritas untuk ditunjukkan, sebab peserta didik berusia remaja, lebih banyak melihat dan meniru daripada mendengarkan kotbah-kotbah yang indah dari mimbar-mimbar agama.
Foucault melihat kekuasaan di tingkat lokal seperti virus yang menyebar ke mana-mana, termasuk ruang kelas dan ruang doa yang “menundukkan” badan peserta didik dan dalam bentuk aturan-aturan atau tata tertib untuk menagih, bahkan menuntut kepatuhan dari peserta didik.
Pemikiran Foucault tetaplah seperti cahaya gemilang yang memengaruhi refleksi dan diskusi orang-orang di zamannya, hingga kini. Namun, pandangan Foucault bahwa individu ditentukan oleh struktur atau sistem melalui aturan-aturan, sudah dapat diragukan. Peserta didik tidak hanya dikontrol atau ditentukan oleh norma-norma institusi, tetapi mereka dapat menyampaikan kritik, saran, aspirasi-aspirasi yang perlu untuk perbaikan institusi. Melalui cara ini, kepentingan peserta didik dapat diakomodir dan diperhatikan sehingga institusi semakin kuat dari dalam dan terhindar dari sikap kesewenang-wenangan.
Akhirul Kalam
Ruang-ruang kelas dan ruang-ruang doa bukanlah arena kekuasaan dan kontrol dari para pembesar atau guru dan tokoh agama atas peserta didik, melainkan arena kemanusiaan, atas dasar kasih sayang sejati, untuk membentuk karakter dan mencerdaskan anak-anak bangsa di pelosok-pelosok Indonesia.
Sampai pada tepian ini, kita boleh mengakui bahwa institusi sekolah dan agama merupakan benteng pertahanan paling akhir untuk menyelamatkan peserta didik dari gempuran teknologi digital, sebab setiap hari dan pada hari ketujuh, kedua institusi ini berbondong-bondong didatangi oleh manusia-manusia remaja untuk diajar dan dididik. Oleh karena itu, melihat kondisi peserta didik yang sedang mengalami pelbagai tantangan seperti di atas, mari kita boleh bertanya, berspekulasi:
Bagaimanakah kalau pada saat ini, ruang-ruang kelas di sekolah-sekolah yang terletak di kawasan pelosok, sangat sering kosong karena para guru tidak masuk kelas? Apalagi perilaku peserta didik yang semakin tidak terkendalikan karena dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi lebih banyak dibesarkan dan dimanjakan oleh media sosial?
Bagaimana kalau dari mimbar-mimbar agama, tidak ada kata-kata motivasi yang menguatkan iman, harapan dan cinta? Bagaimana kalau peserta didik pulang dari rumah ibadah dan merasa semakin kerontang dan kehilangan orientasi hidupnya?
Jika demikian, maka kekuasaan dan kontrol sosial ala Foucault masih lebih baik, sebab institusi sekolah dan agama, para guru dan tokoh agama, di ruang-ruang kelas dan ruang-ruang doa (rumah-rumah ibadah), telah melalaikan panggilan Allah untuk memanusiakan manusia remaja. Para guru dan tokoh agama tega mengkhianati peserta didiknya sendiri atau bermain judi dengan masa depan generasi muda yang jalannya masih Panjang.
*******************