Oleh Rofinus Pati dan Petrus Lawe Kolah
Bunyi lonceng kecil itu selalu terdengar sekitar pukul setengah enam pagi dan pukul enam sore. Suara lonceng itu membahana, merambat sebagai gelombang suara dan terus menyebar ke seantero kampung Likotuden. Udara sebagai medium, memboyongnya ke empat penjuru mata angin tanpa dilihat, bahkan tanpa didengar oleh semua orang di kampung paling ujung ini. Tapi alam dan semua makhluk mampu mendengar suara lonceng itu dengan telinganya sendiri dan selalu mengisahkan peristiwanya setiap musim, bahkan setiap hari dengan romantika dan bahasanya sendiri pula.
Suara lonceng kecil itu menggema dari pantai sampai ke bukit, dari kawasan Mutiara sampai ke Pasir Panjang. Suara lonceng itu menjangkau sampai ke kampung-kampung masa silam sebelum terbentuknya kampung definitif di Lewookin, Likotuden ini.
Suara lonceng itu merayap naik ke Kawa Watotika, Lelo Noreng Rodong di puncak. Kemudian, menjalar ke kampung Lewo Luo Me’an, Tanah Pusung Bura. Setelah itu, merambat ke kampung Ile Kebol Lolon Buto, Woka Ora Liman Lego, bahkan sampai ke timur di kampung Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana Doro.
Suara lonceng kecil itu terus menjelajahi kampung Lewo Tutu Te Bringi, Tana Woka Semu Lima. Kemudian, menerobos ke kampung Kolah Kobar Pito, Aran Sakar Lema. Sesudah itu, suara lonceng kecil itu tetap berputar-putar, bergaung di atas kampung Lewookin-Likotuden. Kampung ini aman bagi manusia dan segenap makhluk untuk berlindung. Kampung yang diberi nama “Likotuden Herin Lela, Pao Gamu Muda Doro” oleh Bapa Raja Larantuka.
Alam Likotuden selalu bersahabat dan murah hati bagi warganya di wilayah pelosok. Babi hutan yang pada malam hari keluar dari sarang, sering terkena jerat warga, saat hendak menyerebot tanaman singkong atau jagung di kebun. Rusa sering masuk kampung dan meminum air sepalungan dengan kambing warga yang diikat di bawah pohon asam. Rusa juga terkadang berlari dari bukit Watotika dihalau anjing, kemudian warga mengepung dan menangkap rusa itu saat berenang menyeberangi selat Likotuden ke pulau Solor.
Ayam hutan sering berkokok, pesiar di dekat rumah warga, mengais-ngais onggokan sampah, sembari melirik ayam-ayam betina di kampung. Tak ada warga yang memasang jerat untuk menangkap ayam hutan, sebab binatang jenis ini sangat pintar mengenal mata jerat. Selain itu, warga sesekali memasang jerat ayam hutan, namun tidak diizinkan memakai umpan seperti jagung atau padi. Itu pantangan yang diwariskan kakek moyang dan harus dipatuhi.
Hutan asam membentang di bukit Watotika dan diselingi sedikit padang ilalang dan pohon lamtoro di sekitarnya. Hutan ini menjadi tempat berlindung bagi kera-kera yang akan berpesta pora di kala tiba musim asam berbuah. Di musim kemarau dan asam belum berbuah, kera-kera kelaparan. Kera-kera itu akan menyerbu pondok-pondok warga di kebun untuk menjarah jagung, padi atau sorgum dan dibawa ke hutan untuk memuaskan rasa lapar.
Petani sering memasang jerat untuk menangkap kera. Tapi, petani lebih sering berburu kera dengan bantuan sekawanan anjing yang rajin mengejar mangsa. Ketika kelelahan, kera lari berlindung di puncak pohon dan anjing ramai berjaga di bawah pohon sambil bergonggong tiada henti. Petani datang membidikkan anak panah ke sasaran. Kera pun terluka dan jatuh, dikerumuni anjing-anjing rakus dan akan segera tamatlah riwayat kera itu.
Babi landak adalah binatang paling tuli, sekaligus paling tajam indera penciumannya. Dagingnya yang lezat tidak mudah dinikmati. Orang harus menjaganya malam-malam, di dekat lubang tempat tinggalnya, namun harus duduk berlawanan dengan arah angin, sehingga hidung landak tidak membaui aroma manusia ketika dia kembali ke lubang batu atau wadas. Cukup menggunakan sepotong pentungan di tangan atau belakang parang, landak sudah bisa diketuk dengan mudah. Ketika mata babi landak disoroti cahaya dari lampu senter, matanya silau dan pasrah tak bergerak.
Babi landak tidak hanya paling tajam indera penciumannya, tetapi juga paling pintar mencuri dan melahap buah-buahan milik warga. Buah semangka yang besar dan manis akan menjadi santapan lezat, sebab pohonnya hanya menjalar di atas tanah. Tongkol jagung yang besar-besar dapat dikenali landak dari pangkal pohon jagung. Babi landak itu menebas pangkal jagung menggunakan giginya yang tajam dan hasilnya rapi seperti disabit oleh manusia. Bahkan, jagung-jagung yang bertongkol besar, dikumpulkan di satu tempat oleh landak yang pintar itu, kemudian baru disantap. Santai memang!
Burung-burung tekukur semakin banyak, terbang berpasangan atau berkelompok dan jinak-jinak, sebab pernah ada larangan menembak burung di kawasan desa Kawalelo. Warga bersahabat dengan burung-burung di udara. Meskipun agak mengganggu tanaman warga, burung-burung itu sering bertelur di pohon-pohon dekat rumah dan bernyanyi riang setiap hari dari alam bebas. Suaranya yang merdu dari samping rumah memanjakan telinga dan tidak seperti di kota-kota besar dimana burung-burungnya dikurung dalam sangkar, hanya untuk mendengar suaranya.
Sementara itu, pantai Likotuden adalah panorama abadi. Bersama gelombang suara lonceng Ancop, debur ombak di pantai Likotuden selalu berbisik, membelai dan membangkitkan sejuta kenangan bagi setiap orang yang datang bertandang. Sekali datang, pasti dua kali mau datang lagi. Yang ingin bersantai, mandi, berjemur, pantai Geraky One dan pantai Blawi siap menyambut para pengunjung.
Gema suara lonceng Ancop terus berpendar-pendar bersama riak-riak ombak di tepi pantai, selalu menyapa para tamu yang datang lewat pemandangan pantai yang ramah. Terpampang kawasan Bana Rodong, Wata Lein, Nebo, Belou, Atubelen, Geraky One, Bui One, Lewa Wutun (Tanjung Semadi), Onem Blawi (pasir panjang) sampai ke Rita Bele. Semuanya menjadi saksi sejati bahwa Likotuden adalah kampung sorgum yang sudah viral ke mancanegara.
Kawasan pantai ini akan menjadi penutur kisah kejadian penduduk asli Likotuden yang berasal dari puncak Watotika. Kejadian dari moyang Tana Solo dan saudarinya Lelo, bersama anak ajaib Mau Bei yang menetas dari telur burung garuda. Ada pula sesama moyang “Kopong Todo Horowura, Mamu Dueng Dulione”, sampai datangnya moyang Jawa: Geraki Tasi Tuki Huri, Sina Haka Jawa Gere yang diangkat menjadi saudara Mau Bei. Sejak itu, turunlah anak cucu membentuk suku atau fam Watokolah dari darah Mau Bei dan Ado Buan seperti sekarang ini.
Pantai “Menanga Wauda, Watan Rapo Ai Matan” tetap melegenda sepanjang masa. Pantai tempat Hata Nara merajut kasih dan kebersamaan dengan moyang warga Likotuden. Pantai penuh kenangan romantis dimana hati “Hata Nara Belu Pelu, Ama Ene Bera Liang Lame” luluh lantak oleh kemolekan perempuan “Wato Pire Kuntri, Hala Bura Loti Lolong”. Dari situlah, Hata Nara didaulatkan membangun rumah di “Hama Lera Kiwi Kowo, Wato Buran Somi Lolon” yang sampai sekarang dikenal dengan “Hama Lera”. Lalu lahan yang diserahkan untuk dijadikan kebun bernama “Libu Lama Lina, Nusa Lama Rebong”.
**
Angin bergerak kembali dari “Hama Lera Kiwi Kowo, Wato Buran Somi Lolon” di sekitar pasir panjang, membawa pulang gema suara lonceng kecil itu kepada sebuah lokasi yang dibatasi pagar kawat berduri. Suara itu mengiang-ngiang di atas lima Gedung Putih yang berlatar hutan hijau asli. Di tempat inilah asal dari suara lonceng kecil itu, lalu angin menyebarkannya ke seantero kawasan Likotuden. Semua lokasi yang dijangkau gelombang suara lonceng dari ANCOP, kini kembali menaruh perhatian penuh pada rutinitas yang terjadi di dalam pagar kawat berduri.
Lonceng ini seperti memiliki magnet akbar, yang menarik telinga dan pikiran siapapun. Suara lonceng di waktu pagi maupun sore hari, senantiasa menggerakkan para malaikat tak bersayap, untuk berbondong-bondong keluar dari peraduannya yang empuk. Para malaikat itu meluncur turun beramai-ramai seperti banjir bandang yang menyapu dari gunung menuju ke laut. Asrama ‘tritunggal’ gedung putih: Angela, Bernadet dan Don Bosco menjadi lengang sejenak karena para penghuninya hendak membasuh jiwa di rumah ibadah.
Banyak anggota ANCOP di gedung putih sudah terbiasa datang sebelum waktunya dan berdiri menanti di sekitar Kapel untuk masuk mengikuti misa. Cukup banyak yang memang masih bergerak lamban di asrama dan perlu dibimbing agar lebih cekatan, sekaligus bisa memutuskan rantai kemalasan yang membelenggu diri sendiri. Namun demikian, irama kehidupan rohani sudah cukup seragam sejauh waktu berjalan. Semakin banyak anggota Gedung Putih yang mampu menempatkan diri pada waktu, tempat dan kegiatannya. Ini sungguh suatu kabar gembira.
Sayup-sayup terdengar lagi di telinga, suara lirih Sang Gembala Pemersatu umat, yang pernah menghimbau pada Selasa, 12 April 2022:
“Misa itu aturan sekolah…Bagaimana kita menyatukan kegiatan di sekolah ini supaya terintegrasi, sehingga semua bisa berjalan, untuk membentuk kehidupan anak-anak dan hidup kita sendiri juga. Saya mengharapkan di sini, walau bukan seperti di seminari, namun semua perlu hadir dalam perayaan ekaristi. Walau terasa berat, tapi baiklah kita memulai hari baru dengan merayakan ekaristi bersama. Saya mohon kita beri waktu, supaya bisa ikut perayaan ekaristi”, demikian Bapa Uskup.
Lonceng kecil itu, tetap setia memanggil, entah di pagi maupun sore hari. Kegiatan misa atau berdoa bagi sebagian besar anggota gedung putih adalah kebutuhan mendasar seperti menghirup udara dan bukan hanya sekedar mengisi atau menghabiskan waktu sisa. Kegiatan ini bukanlah hal sepeleh yang dianggap membuang-buang waktu saja. Boli dan Kewa, dua orang murid, tidak sabar untuk mengupas topik ini:
“Barangkali banyak teman merasa jenuh dengan kegiatan misa harian sebagai kegiatan rohani, karena mereka kalah melawan kemalasan diri sendiri, sehingga tidak sanggup menempatkan dirinya pada saat kegiatan itu berlangsung”, tutur Kewa kepada Boli.
“Di tempat yang sunyi seperti ini, mengikuti misa dan berdoa akan membuat kita semakin kuat dalam iman dan bersemangat dalam belajar. Jika tidak, kita akan merasa kering, hampa, malas, bosan bahkan merana sendiri di dusun ini”, sambung Boli.
Di dekat situ, berdiri pula Peni, seorang teman dari Boli dan Kewa. Peni pun ikut memberikan komentar :
“Hal-hal rohani dan jasmani perlu diseimbangkan, bahkan hal rohani itu prioritas. Rohani itu berasal dari kata roh, yang berarti jiwa, nafas kehidupan. Tanpa nafas, manusia adalah mayat. Jadi, mengikuti misa itu tanda syukur atas nafas kehidupan yang masih kita terima atau sekurang-kurangnya kita belum menghirup udara lewat slang dari tabung oksigen”, demikian Peni.
Lonceng Ancop tetap memanggil setiap hari, meski suaranya sering dianggap angin lalu. Kesetiaan demi kesetiaan setiap hari dari lonceng Ancop, telah membuat suaranya semakin didengar oleh manusia dan makhluk infra serta suprahuman. Kesetiaan di musim panas maupun hujan, pagi maupun senja hari, itulah yang membuat beberapa anak meneladani kesetiaan lonceng itu; lonceng yang selalu membelai, menyapa, mengingatkan bahwa manusia perlu mengadakan waktu dari dua puluh empat jam itu untuk Tuhan.
“Bapak…bapak, Bolehkah saya mengetuk lonceng supaya teman-teman mendengar bunyi dan mulai masuk ke dalam aula untuk misa sore?”, tanya seorang murid yang menjadi orang ke sekian menanyakan itu.
“Kenapa adik juga mau mengetuk lonceng? Biar Bapak saja ya. Tidak apa-apa kok”.
“Ya, saya juga tertarik mau mengetuk lonceng, sebab bunyi lonceng selalu menggetarkan hati kita untuk mengingat Tuhan dan berdoa atau misa”, jawabnya polos.
Tidak hanya lonceng ANCOP yang setia. Betapa senang hati moyang Tana Solo, Lelo, Mau Bei, Ado Buan, Kopong Todo, Hata Nata, Wato Pire dan lain-lain kalau melihat dengan mata sendiri, para anggota gedung putih sungguh mengamalkan spiritualitas Kristiani dalam kehidupan setiap hari. Para kakek moyang ini tentu berbangga, sebab jauh di dusun yang sunyi, di Likotuden ini, para remaja muda sedang berproses untuk menjadi bintang-bintang dari timur Indonesia, suatu saat nanti. Jauh dari keramaian kota, banyak anak-anak papa sedang merajut mimpi setinggi bintang di langit untuk boleh merubah nasib, daripada sekedar menuai ubi jagung dari kebun orangtuanya.
Kawasan pantai yang berjajar mulai dari Bana Rodong, Wata Lein, Nebo, Belou, Atubelen, Geraky One, Bui One, Lewa Wutun (Tanjung Semadi), Onem Blawi (pasir panjang) pun turut mendukung segenap anggota ANCOP untuk menggunakan waktu di Likotuden secara efektif, efisien dan maksimal, sehingga dapat mengangkat citranya menjadi manusia berbobot dan tidak menorehkan kekecewaan bahkan air mata pada sekolah, orangtua atau keluarga dan masyarakat.
Leluhur di kampung-kampung purba, tempat moyang orang Likotuden pernah menetap seperti Kawa Watotika Lelo Noreng Rodong, Lewo Luo Me’an Tana Pusung Bura, Ile Kebol Lolon Buto, Woka Ora Liman Lego, Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana Doro, Lewo Tutu Te Bringi, Tana Woka Semu Lima, Kolah Kobar Pito Aran Sakar Lema, juga turut menghimbau agar segenap anggota ANCOP mematuhi panggilan dari suara lonceng untuk berhenti sejenak, berbenah diri dan menjalin relasi dengan Tuhan, sesama dan alam.
Lonceng ANCOP dan bunyinya pada dinihari dan menjelang pukul enam sore adalah simbol kesabaran dan kesetiaan. Sabar mengetuk kesadaran. Setia untuk mengingatkan dan alam Likotuden menjadi saksinya. Setia dan selalu merawat kehidupan rohani segenap anggota di Gedung Putih untuk membangun benteng iman yang kokoh di zaman ini, berhadapan dengan gempuran media digital yang akan tetap datang seperti sinar matahari.
********************