Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
Bu Kartika, kepala perpustakaan umum kecil di kaki Bukit Kencana, sedang berjuang keras menyusun katalog buku-buku baru. Sore itu, matahari telah condong, dan jendela kayu di balik meja kerjanya menghadap langsung ke taman kota.
Dari sana, sayup-sayup terdengar bunyi bising dan lengkingan tawa sekelompok remaja sekolah menengah yang sedang bermain gitar akustik dan mengobrol keras, persis di luar batas pagar perpustakaan.
Bu Kartika sudah mencoba segala cara untuk mendapatkan fokusnya kembali. Ia telah memutar musik klasik dengan volume rendah, menyumpal telinganya dengan kapas, bahkan mencoba menyortir tumpukan manuskrip lama yang biasanya menuntut konsentrasi penuh.
Namun, melodi sumbang dari lagu pop yang dimainkan berulang-ulang, diselingi teriakan gembira saat salah satu remaja berhasil melakukan solo gitar yang berantakan, terus menerus merusak ketenangan yang ia cari.
Pemikirannya tentang sistem klasifikasi Dewey Decimal terasa kabur dan sia-sia akibat gangguan berisik yang menguasai sore hari itu. Ia mulai merasa cemas karena pekerjaan itu harus selesai sebelum esok pagi.
Akhirnya, kesabarannya benar-benar terkikis habis. Kebutuhan untuk menyendiri dan menyelesaikan tugasnya bercampur dengan iritasi yang menusuk. Ia bangkit, membuka pintu belakang perpustakaan dengan sedikit sentakan, dan berseru sekeras yang ia mampu, suaranya sengaja dibuat misterius dan sedikit mengancam.
“Hei, kalian semua! Cepat beranjak dari sini! Ada Penyihir Jubah Hitam yang sangat marah di menara tua di atas sana! Dia baru saja terbangun dari tidurnya yang panjang dan dia tidak suka keributan! Pergi sekarang sebelum ia mengubah kalian semua menjadi katak!”
Seketika, keriuhan itu lenyap. Para remaja terdiam, menoleh ke arah menara air tua yang berlumut di puncak bukit, mata mereka membulat penuh keraguan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bertopi yang memegang gitar, bertanya dengan nada mencemooh, “Ah, Bu Pustakawan, Ibu hanya mengarang, kan? Itu cuma menara air kosong.”
“Tidak!” sergah Bu Kartika, memasang mimik muka yang dingin dan serius, seperti seorang penutur cerita rakyat kuno. “Asap ungu baru saja terlihat keluar dari puncak menara itu. Cepat bubar kalau tidak mau mendengarkan mantera kutukan yang mematikan!”
Mendengar kata “kutukan,” para remaja itu segera bangkit, mengemasi tas dan gitar mereka dengan tergesa-gesa. Mereka berhamburan pergi, membawa serta kabar ganjil itu yang segera menyebar dari taman kota ke kedai kopi dan warung-warung makan di sekitarnya.
Dalam waktu singkat, cerita tentang Penyihir Jubah Hitam dari Menara Air telah menggantikan semua topik perbincangan. Mulai dari penjaga toko yang mendengar kabar itu dari anak buahnya yang membeli rokok, hingga ibu-ibu arisan yang bergegas mengunci jendela rumah mereka. Ketakutan akan sihir dan takhayul kuno berbaur menjadi satu.
Bu Kartika, yang baru saja duduk kembali dan mulai menikmati keheningan yang ia ciptakan, terkejut melihat puluhan warga desa berlari tergesa-gesa melintasi jalan di depan perpustakaan, membawa senter dan bahkan beberapa obor kayu menuju arah bukit. “Bu Kartika! Ayo ikut! Kita harus berdoa di kaki bukit untuk mengusir roh jahat ini!” seru seorang tokoh masyarakat sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke arah menara.
Terbawa oleh gelombang massa yang panik, Bu Kartika ikut berjalan cepat. Saat ia merasakan napasnya memburu dan langkah kakinya terayun kencang, sebuah pengakuan menusuknya: Aku yang menciptakan legenda urban ini. Semua ini demi katalog yang selesai tepat waktu.
Namun, ia terus berjalan, didorong oleh gelombang kepercayaan kolektif yang tak terbantahkan. Di tengah perjalanan yang mulai menanjak menuju bukit, ia berpikir lagi: “Memang benar, ini hanya bualanku. Tapi, mungkin ada benarnya juga, … bukankah menara itu memang terlihat menyeramkan saat malam hari?”
Penyihir di menara tua kini bukan lagi sekadar kebohongan yang ia ciptakan, tetapi telah bertransformasi menjadi keyakinan bersama seluruh desa.
Bu Kartika menyadari bahwa jauh lebih mudah bagi manusia untuk percaya kepada misteri dan ancaman supernatural, jika kita berhasil meyakinkan banyak orang lain bahwa ancaman itu memang ada di depan mata.
Keyakinan ironis itu membuatnya terus berjalan, mencari sesosok bayangan yang ia tahu tak nyata, namun yang ia harapkan—secara paradoks—benar-benar muncul untuk membenarkan kebohongannya.