Oleh Budi Hartanto
RESPON kritis terhadap teknologi bermula pada masa Revolusi Industri di Inggris. Inovasi mesin uap dalam dunia industri pada masa itu telah memicu gerakan antimesin karena dipercaya berpotensi mereduksi kreatifitas manusia. Dari gerakan inilah dikenal Luddisme, yaitu sebuah paham antiteknologi yang melihat pentingnya biosphere dibandingkan dengan technosphere. Pada masa kontemporer, Neo-Luddism menjadi gerakan intelektual yang memperluas kritiknya tidak hanya pada mesin-mesin, tetapi juga sistem ekonomi kapitalistik.
Selain technophobia seperti Luddisme, yang melihat hanya dari perspektif bahayanya, kita ketahui adanya technophilia. Istilah ini merujuk pada orang-orangyang percaya hanya pada keutamaannya. Mereka melihat status ontologis teknologi tanpa mempertimbangkan dampak-dampaknya yang merugikan. Futurisme, pascahumanisme, dan transhumanisme berada dalam kategori technophilia. Ia dikatakan tidak hanya dapat menebus keterasingan manusia modern, tetapi juga membawa kebahagiaan yang diinginkan.
Eksistensialisme selalu dikategorikan technophobia. Namun, kita ketahui kritik mereka lebih dari perspektif esensinya, bukan pada dampak empirisnya. Martin Heidegger, filsuf yang secara sistematis merumuskan cara pandang esensialis, mendefinisikan teknologi sebagai penyingkapan realitas. Menurutnya, ia dipahami bukan dalam konteks genus seperti pemahaman kita akan esensi entitas-entitas filosofis lainnya (1977: 15). Demikian pula filsuf-filsuf eksistensialis lainnya seperti Karl Jaspers (Verbeek, 2000) dan Gabriel Marcel (1962). Dengan melihat pada esensinya, menurut mereka, ia berpengaruh secara merugikan. Para filsuf eksistensialis tersebut mengajukan pentingnya kualitas-kualitas eksistensial seperti kebebasan, keotentikan, dan juga kesakralan diri manusia.
Dalam artikel ini, saya mengajukan gagasan humanisme dalam wacana filsafat teknologi berdasarkan problem non-netralitas teknologi (bahwa ia dapat menjadi baik dan buruk). Kerangka filosofisnya dielaborasi berdasarkan filsafat Armahedi Mahzar, Lewis Mumford, Gilbert Simondon dan Carl Mitcham. Bentuk humanisme ini menjadi solusi teoritis untuk mengatasi dampak-dampak teknologi yang membuat manusia terasing dari dunianya. Selain itu, akan dirumuskan juga langkah-langkah empiris mengacu pada proposisi-proposisi filosofis berciri humanistik.
Argumen-argumen Humanisme dalam Wacana Filsafat Teknologi
Humanisme bermula pada masa Renaisans di Italia. Gerakan intelektual ini memiliki agenda mengembalikan otonomi manusia dengan melihat khazanah kebudayaan (filsafat dan seni) klasik yang terlupakan. Pada masa modern, humanisme kembali dipopulerkan oleh mahzab filsafat eksistensialisme. Mereka menyatakan perlunya manusia merefleksikan dirinya sebagai eksistensi yang penuh determinasi di tengah gejala materialisme. Para filsuf seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre dan Karl Jaspers mengajukan relevansi humanisme perspektif eksistensialisme. Kemanusiaan, menurut para filsuf eksistensialisme, melampaui rasionalitas manusia.
Saya akan mendedah humanisme dalam wacana filsafat teknologi berdasarkan ide bahwa ia tidak terbatas pada eksistensi manusia. Fokus utamanya bukan pada respon kritis dimana posisi manusia mesti menjadi keutamaan seperti humanisme filsafat teknologi perspektif eksistensialisme, melainkan cara pandang yang menjelaskan karakter manusiawi dari semua teknologi.
Argumen pertama mengacu pada Armahedi Mahzar, futuris dan filsuf sains dan teknologi integralis. Mahzar melihat adanya kesamaan antara biologi dan teknologi. Teknologi merupakan kelanjutan dari biologi dengan manusia penentu gerak kemajuannya. Ia menyatakan adanya kesejajaran struktural fungsional yang meliputi material, energetik, dan informatik. Ia mencontohkan kesejajaran struktural fungsional material: tulang sejajar dengan kayu atau besi (subsistem penopang). Daging dan lemak dengan gudang atau kamar (subsistem penyimpan). Kulit dengan pakaian (subsistem pelindung). Sel dan organ dengan perkakas (subsistem perlengkapan). Lalu energetik: otot sejajar dengan mesin atau kincir angin (subsistem penggerak), pembuluh darah dengan jalan atau sungai (subsistem penyebar). Sedangkan informatik: mata sejajar dengan kamera, telinga dengan mikrofon (subsistem penerima). Jaringan syaraf dengan telepon, radio, dan televisi (subsistem penyalur). Sedangkan otak (subsistem pengolah) dengan internet (2004: 172-175).
Dengan adanya kesamaan struktural fungsional ini, baik itu disadari atau tidak, teknologi selalu merupakan biomimikri digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalaan. Biomimikri dalam konteks ini dijelaskan olehnya secara struktural fungsional. Kesajaran fungsional menyatakan ia bukanlah suatu yang berbeda dengan biologi. Ia memiliki karakteristik yang sama terutama dengan manusia yang merupakan puncak evolusi alam. Bahkan ia berevolusi menuju keadaan singularistik dimana Bumi suatu saat akan sadar diri. Humanisme filsafat Mahzar terletak pada bagaimana teknologi dikatakan memiliki kesejajaran fungsional dengan alam dan terutama tubuh manusia dengan segala kapasitas teknisnya.
Ia juga menjelaskan aspek-aspek antropomorfis yang menjadi syarat suatu kebudayaan berkembang, yaitu melalui ilmu, teknologi dan seni yang merupakan ekstensi (atau refleksi) dari trifungsi otak manusia (2004: 200). Melalui proses ini, maka semua bentuk teknologi (secara lebih luas kebudayaan) bersifat manusiawi. Kapasitas kecerdasan yang berekstensi secara material inilah yang nantinya mengondisikan singularitas teknologi.
Namun demikian, materialitasnya, yang merupakan manifestasi dari kecerdasan manusia, diteorikan bergerak menuju kondisi determinisme distopian. Trifungsi otak manusia (ilmu, teknologi dan seni) tidak akan mampu mengatasi persoalan ini. Ia kemudian menawarkan kecerdasan ruhaniah yang khas pada manusia sebagai solusi mengatasi mesin-mesin super canggih yang merupakan ekstensi dari trifungsi otak manusia. Hanya nilai-nilai ruhaniah yang ada pada manusia, menurut Mahzar, yang dapat mengatasi hegemoni dan dampak-dampak merugikan teknologi (2004:186).
Selain karakteristik teknologi yang merupakan refleksi dari keberadaan manusia, humanisme filsafat teknologi Mahzar menemukan bentuknya pada bagaimana nilai-nilai ruhaniah memainkan peran penting dalam memanusiakan teknologi. Namun demikian, bagaimana proses nilai-nilai ruhaniah mengatasi persoalan secara praktis-metodologis tidak dibahas secara rinci olehnya. Dalam diskursus filsafat teknologi, kita bisa mengacu filsafat relasi-relasi manusia-teknologi (atau teori mediasi) yang menjelaskan non-netralitas teknologi. Melalui teori ini, kontrol terhadap teknologi dapat dilakukan melalui pilihan-pilihan rasional yang ditentukan secara demokratis atau melalui nilai-nilai ruhaniah seperti ditawarkan oleh Mahzar.
Argumen kedua dari Lewis Mumford, filsuf teknologi asal Amerika. Ia mengatakan semua alat-alat teknik (tool-technics) merupakan bioteknik. Dengan kata lain, ia bagian dari teknik-teknik yang ada pada biologi atau secara khusus tubuh manusia. Organ-organ tubuh manusia, seperti tangan dan gigi, bersifat teknis digunakan untuk bertahan hidup dan mencipta relasi-relasi sosial, demikian pula alat-alat yang diciptakan oleh manusia menjadi ekstensi dari kemampuan teknik tubuhnya (2014: 383). Pemikiran ini menyatakan bahwasannya artefak teknis memiliki ciri khas manusiawi. Filsafat Mumford menjelaskan tentang teknologi yang merupakan manifestasi dari teknik-teknik yang bersifat alami. Seperti halnya Mahzar yang melihat adanya kesajajaran dengan biologi. Namun, Mahzar berfokus pada kesamaan bentuk dan manisfestasi, sedangkan Mumford melihatnya sebagai ekstensi tubuh digunakan untuk bertahan hidup dan relasi-relasi sosial.
Selain itu, Mumford menjelaskan ciri megamesin teknologi modern. Megamesin mengacu pada mekanisme manusia-manusia yang bekerja secara organisasional dan manajerial. Pembuatan Piramida di Mesir pada zaman kuno hanya dimungkinkan dengan mesin terdiri dari manusia-manusia yang bekerja menurut aturan-aturan di bawah kontrol kekuasaan. Oleh karena itu, mesin pada dasarnya merupakan sesuatu yang alami. Ia mengatakan kecanggihan mesin primordial tersebut baru dapat dibandingkan sampai ditemukannya mesin jam dan mesin-mesin modern lainnya. Megamesin dengan sistem manajerialnya, yang terdiri dari manusia dan mesin, seperti kita ketahui, telah mengondisikan peradaban modern. Namun megamesin, menurut Mumford, menjadikan teknologi tidak sesuai dengan idealitas nilai-nilai kemanusiaan karena berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan. Teknologi berwajah megamesin telah meninggalkan ciri manusiawinya. Mekanisasi dan regimentasi kemudian menjadikan manusia semata-mata roda gigi mesin (2014: 385).
Humanisme filsafat Mumford, seperti halnya Mahzar, terletak pada bagaimana teknologi tidak terpisah dengan yang alamiah. Namun demikian, menurut Mumford, ia menghasilkan visi determinisme distopian dimana manusia secara eksistensial kemudian tersubordinasi. Pandangan inilah yang membawa kita pada kecenderungan melihat teknologi berjarak dengan manusia. Munculnya mesin-mesin super canggih, terutama seiring dengan perkembangan komputer, menguatkan pandangan ini. Sikap kritis Mumford terhadap teknologi dengan ciri megamesin (atau monoteknik) kemudian membawanya pada kajian yang berfokus pada seni dan kehidupan urban.
Mengenai posisi dikotomi manusia vis a vis teknologi kita bisa lihat “filsafat” Gilbert Simondon, yang merupakan argumen ketiga humanisme dalam wacana filsafat teknologi, tentang individu-individu teknis. Mesin-mesin, menurutnya, bukanlah teknologi dengan makna instrumentalnya, melainkan proses konkretisasi (dan konvergensi) benda-benda dari keadaan ontogenesis (preindividual being) menuju keutuhan individu teknis yang terus memiliki potensi berkembang. Keterhubungan anasir-anasir teknis menjadi pemikiran utama filsafat teknologi Simondon. Teknologi merupakan individu dengan manusia menjadi bagian dari individu tersebut (2013: 58).
Dalam filsafat Simondon, kita tidak bisa melihat teknologi sebagai entitas yang dikuasai, melainkan harus memosisikannya sebagai individu teknis yang terbentuk secara evolutif. Karena itu, dalam relasi-relasi manusia-teknologi, kita tidak bisa berada dalam posisi menguasai atau dikuasai. Untuk moda relasi ini, Simondon menganalogikannya dengan ansambel teknis seperti musik orkestra (1980: 4). Tujuan-tujuan teknis menjadi mungkin bila kita memosisikan diri bagian dari ansambel. Berdasarkan pemikiran ini, karena adanya simetri, maka ketika menggunakan alat-alat kita tidak bisa mengkonstitusikan diri sebagai individu teknis. Alat-alat yang berada dalam relasi-relasi dikonseptualisasikan seperti manusia dengan segala kapasitas teknis tubuhnya.
Berdasarkan filsafat Simondon, humanisme dipahami ketika kita perlu menyimetrikan diri dengan teknologi. Secara fungsional, tidak ada dikotomi antara manusia dan objek-objek teknis. Objek-objek teknis memiliki ciri manusiawi karena diteorikan berada dalam relasi-relasi ansambel untuk menggapai tujuan. Kita tidak bisa melihat mesin dalam arti objek berhadapan dengan manusia. Sebagaimana dijelaskan Muriel Combes, penafsir Simondon, ini berawal dari bagaimana kita selalu mengkonstitusikan diri sebagai individu teknis yang mensubordinasi teknologi (2013: 59). Karena itu, ketika ia berevolusi menjadi objek teknis yang cukup diri, seperti mesin, seolah-olah kekuasaan kita atasnya menjadi hilang. Padahal, bila kita melihatnya dari perspektif relasi-relasi ansambel, teknologi sejak awal sudah selalu merupakan individu teknis yang cukup diri.
Argumen terakhir, kita bisa mengacu pada definisi diajukan Carl Mitcham tentang teknologi dalam arti kemauan atau niat (technology as volition). Definisi filosofis ini menyatakan ia bukanlah sesuatu yang material. Menurut Mitcham, ini merupakan proses kembalinya makna teknik (sebagai objek, pengetahuan, dan aktivitas) ke filsafat (1994: 247). Manusia mesti punya kemauan untuk bisa bertahan hidup. Demikian pula kemauan diperlukan untuk membuat hidup lebih mudah. Ia menjadi prasyarat munculnya kecerdasan teknis yang kemudian memungkinkan teknologi. Kemauan yang terdiri dari hasrat, motivasi dan persetujuan kolektif tidak memiliki makna secara umum. Karena kemauan yang berbeda akan menghasilkan teknologi yang berbeda pula. Teknologi dunia kesehatan, transportasi, militer, dan pendidikan merepresentasikan bentuk kemauan yang berbeda. Kemauan (volition) telah membuat perubahan, kemajuan, dan revolusi dalam sejarah peradaban. Kita bisa katakan tanpanya tidak akan ada kecerdasan berwujud objek, pengetahuan dan aktivitas.
Jika Mahzar dan Mumford melihat melalui bentuk dan karakteristik materialnya, Mitcham kembali ke esensinya yang unik bagi manusia. Seperti halnya Martin Heidegger (enframing) dan juga Simondon (konkretisasi) yang mendefinisikan teknologi bukan dari makna instrumental dan materialnya. Definisi mereka menjelaskan bahwa secara filosofis ia bersifat non-empiris. Di balik bentuk empirisnya, ketika kita melihatnya sebagai objek, pengetahuan dan aktivitas, terdapat kemauan manusia. Inilah yang membuatnya, sesulit apapun bagi kita untuk memahaminya, selalu memiliki ciri-ciri yang bersifat manusiawi, yaitu adanya kepentingan-kepentingan yang terkandung di dalamnya.
Humanisme filsafat Mitcham berpijak pada kritik teknologi mengacu pada keutamaan manusia. Ia, misalnya, membuat distingsi antara filsafat teknologi ilmu budaya (humanities philosophy of technology) dan filsafat teknologi ilmu teknik (engineering philosophy of technology). Yang pertama terdiri dari para filsuf, seperti Heidegger, Mumford dan Mitcham sendiri, yang lebih melihat dari perspektif kritik, karena itu bersikap pesimistis. Berbeda dengan yang kedua, yaitu kategori teknik, yang bersikap optimistis. Para filsuf kategori ini biasanya merupakan ahli teknik yang berjuang untuk kemajuan peradaban teknologis (1994: 20-61). Di Indonesia, filsuf kategori ini bisa kita lihat contohnya BJ. Habibie. Habibie, melalui program-program pembangunannya, berfilsafat melalui teknologi, bukan berteknologi melalui filsafat seperti halnya para filsuf teknologi ilmu budaya.
Dari filsafat Mahzar, Mumford, Simondon dan Mitcham, kita ketahui humanisme senyatanya tidak terbatas pada eksistensi dan juga tentunya rasionalitas manusia, melainkan meliputi teknologi. Dengan demikian, kita tidak bisa melihatnya sebagai objek non-netral yang berdiri secara diametral dengan manusia. Kesadaran humanistik dalam memandang teknologi mengandaikan etika hidup bersama dengan tanpa adanya kontestasi dan juga determinisme.
Keterasingan-keterasingan Dihasilkan oleh Teknologi
Teknologi menghasilkan dampak-dampak yang membuat manusia terasing dari nilai-nilai kemanusiaannya. Keterasingan ini saya kategorikan menjadi tiga bentuk: keterasingan ontologis, etis dan epistemologis. Saya meminjam istilah keterasingan dari filsafat Karl Marx dengan asumsi ia membawa pada kondisi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Keterasingan ontologis kita temukan pada respon diajukan oleh para filsuf eksistensialis. Mereka percaya peradaban teknologis berpotensi mereduksi subjektivitas. Heidegger menyatakan bagaimana keotentikan diri menjadi hilang mengacu pada esensi teknologi modern sebagai enframing. Enframing membawa pada kondisi ketika kita tidak lagi bisa berada dalam kondisi alamiah. Manusia menjadi objek-objek relasional yang diposisikan standing reserve. Menurut Heidegger, ia menjadi berbahaya bukan pada potensinya yang merusak, melainkan ketika berpengaruh terhadap esensi manusia. (1977: 5).
Eksistensialis lainnya, Gabriel Marcel, menyatakan perkembangan peradaban modern telah menjadikan kita semata-mata manusia teknis. Hidup dengan mensyaratkan mediasi teknologi, menurutnya, bukanlah kondisi yang ideal. Menurut Marcel, “a technical world with its compass set in such direction, can only end in despair.” (1962: 94). Teknik tidak akan pernah bisa menjawab persoalan-persoalan eksistensial manusia di dunia. Marcel mencontohkan bagaimana teknik tidak bisa mengatasi misteri kematian manusia. Bahkan, alih-alih membebaskan manusia, teknik menurutnya diciptakan terutama untuk mendegradasi manusia. Teknik digunakan untuk penghancuran massal menjadi ciri perkembangan teknologi modern. Karena itu ia diteorikan hanya akan mencerabut subjektivitas dan nilai-nilai kesakralan.
Dengan keterasingan ontologis, teknologi mereduksi manusia seperti halnya benda-benda. Bahkan, seturut dengan logikanya, kemanusiaan manusia menjadi hilang karenanya. Solusi dari persoalan ini dapat kita rujukkan pada visi humanisme Mahzar. Mahzar punya strategi menghumanisasi teknologi dengan nilai-nilai ruhaniah yang khas ada pada diri manusia. Materialitasnya yang terus berkoevolusi secara sosio-teknologis suatu saat menghasilkan kondisi dehumanisasi, teknologi tidak dapat dikontrol, dan akhirnya menguasai manusia. Kondisi ini hanya dapat diatasi dengan nilai-nilai ruhaniah. Memberi nilai-nilai ruhaniah merupakan proses humanisasi.
Selain berpengaruh secara eksistensial, kita ketahui pengaruhnya terhadap lingkungan dan masyarakat. Saya mengistilahkannya dengan keterasingan etis. Keterasingan ini mengacu pada bagaimana ia dicitrakan menghasilkan persoalan yang sebelumnya tidak kita temukan. Limbah industri, senjata pemusnah massal, penebangan pohon, dan polusi udara merupakan dampak-dampak nyata yang merugikan.
Keterasingan etis merupakan konsekuensi dari perkembangan megamesin yang distimulasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Kita bisa lihat contohnya industri-industri berorientasi kapitalistik dan juga tentunya persenjataan militer. Pendekatan humanistik melihat keterasingan etis muncul disebabkan oleh kemauan manusia. Meski amplifikasi fungsi memiliki peran menentukan, sehingga membuatnya seakan-akan menjadi sumber kerusakan itu sendiri, ia pada dasarnya masih berada dalam relasi-relasi yang ditentukan manusia.
Mengenai hal ini, kita bisa mengacu pada filsafat Carl Mitcham tentang teknologi sebagai kemauan (technology as volition). Tidak akan ada teknologi tanpa kemauan, tentunya juga tidak akan ada dampak-dampak etis yang dihasilkannya. Dampak-dampaknya yang merugikan merupakan perwujudan dari kemauan. Berdasarkan pemahaman ini, solusi terhadap keterasingan etis digapai melalui kemauan itu sendiri yang mewujud dalam bentuk tindakan.
Dengan melihatnya berdasarkan refleksi dari keberadaan manusia, penyebab keterasingan etis tidak bisa dilimpahkan pada teknologi semata seperti kritik para filsuf eksistensialis dan neo-luddite. Alasan mereka mungkin masuk akal, terutama ketika mesin-mesin secara teknis memiliki kekuatan amplifikasi yang merusak dan menggerakkan kita untuk menggunakannya tanpa pertimbangan etis. Namun kemauan tetap memiliki peran signifikan mendahului aksi. Konsekuensinya, segala bentuk tindakan terkait dengan penciptaan dan penggunaan teknologi bisa dipertanggungjawabkan.
Keterasingan lainnya bersifat epistemologis. Keterasingan ini merupakan dampak-dampak merugikan disebabkan oleh ketidaktahuan kita akan teknologi. Sebuah objek teknis, selain bentuk dan fungsinya, secara intrinsik terkandung ilmu pengetahuan. Ketidaktahuan akan hal tersebut menyebabkan keterasingan. Kita bisa lihat contohnya kultus kargo pada suku tertinggal di Melanesia pada awal abad 20. Kultus kargo disebabkan oleh ketidaktahuan akan kemajuan peradaban modern. Karena ketidaktahuan ini, mereka percaya pesawat terbang yang melemparkan barang-barang merupakan kekuatan illahiah. Suku Melanesia tidak tahu kalau pesawat merupakan pencapaian kecerdasan manusia. Lalu mereka membuat pesawat dari kayu beserta landasannya berharap kekuatan illahiah dalam wujud pesawat tersebut akan datang kembali memberi mereka kemakmuran.
Dampak lainnya dari kategori keterasingan ini mengacu pada kondisi ekonomi. Kemajuan ekonomi suatu negara berjalan seiring dengan kemajuan industri yang selalu mengandaikan penggunaan teknologi. Kategori negara maju, berkembang dan tertinggal, seperti kita ketahui, ditentukan oleh sejauhmana ia mengatasi persoalan ekonomi. Selain itu, ia juga memiliki dampak secara politik. Persenjataan, seperti kepemilikan senjata nuklir, menjadi simbol kekuasaan suatu negara terhadap mereka yang tidak memilikinya. Maka dapat kita nyatakan relevansinya serta potensi keterasingan yang dihasilkan apabila kita tidak memahaminya.
Keterasingan ini juga berdampak secara individual, setiap orang dapat merasakan, tidak hanya di negara tertinggal atau budaya primitif, tapi juga di negara berkembang dan bahkan negara maju. Tentu banyak faktor yang membuat apakah suatu negara, budaya, dan bahkan individu itu terasing. Selain ilmu pengetahuan, faktor mendasar yang dapat mengatasi keterasingan epistemologis adalah keterhubungan yang memungkinkan didapatkannya informasi. Informasi membuat mungkin kita mengetahui, mempelajari dan kemudian menguasai teknologi. Fenomena kultus kargo di Melanesia disebabkan terputusnya informasi. Publisitas (informasi) dan sosialisasi menjadi solusi bagaimana keterasingan epistemologis kemudian dapat diatasi.
Langkah-langkah Empiris Menuju Visi Humanistik
Dari problem-problem keterasingan dan solusi filosofisnya, saya mengajukan langkah-langkah empiris yang relevan diterapkan untuk menggapai suatu visi humanistik filsafat teknologi. Ada empat proposisi yang dapat dijadikan acuan: (a) sosialisasi diperlukan untuk mencipta kesempatan yang sama menggapai kebahagiaan dihasilkan oleh teknologi. Pendekatan institusional dan politik di sini menjadi penting selain pendekatan ekonomi. Mengikuti proses sosialisasi ini, (b) kita memiliki hak untuk memilih teknologi sesuai dengan yang diperlukan. Aplikasi objek-objek dan sistem-sistem teknis ke tengah masyarakat, yang dipercaya bersifat global, harus sesuai dengan nilai-nilai lokalitas.
Untuk mencipta kesadaran publik (awareness) berkenaan dengan perkembangan teknologi terbaru, maka (c) perlu dipertimbangkan signifikansi budaya teknologis. Budaya ini terbentuk melalui pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi, engineering dan matematika (STEM education) dan juga tentunya lembaga-lembaga pengembangan. Kemudian karena alasan non-netralitas, objek-objek teknis dapat menjadi baik dan tidak baik, (d) etika mediasi teknologis digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dihasilkan oleh teknologi. Contohnya, ketika bencana teknologi terjadi, kita selalu menyalahkan perangkat-perangkat teknis; relevan bila kita lihat faktor-faktornya dalam ranah relasi-relasi manusia teknologi. Selain itu, mengikuti etika ini kita mesti memosisikan manusia sebagai manusia bukan benda-benda dan juga sebaliknya benda-benda (bagian dari manusia itu sendiri).
Proposisi (a) bertujuan mencipta pemahaman publik melalui sosialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Indonesia, sosialisasi penggunaan tenaga nuklir menjadi relevan karena kita belum memberdayakan pembangkit listrik tenaga nuklir. Pertimbangan-pertimbangan penggunaan tenaga nuklir mesti mengacu pada kepentingan publik lebih luas. Sosialisasi tenaga nuklir, meliputi keuntungan dan potensi kerugiannya, lewat pendidikan di sekolah, workshop, seminar, dan diskursus di media menjadi relevan. Publisitas diperlukan guna mewujudkan teknologi yang demokratis.
Lembaga non-government di Indonesia yang memiliki program sosialisasi, seperti kita ketahui, The Habibie Center. Meski kini berfokus pada demokrasi dan hak asasi manusia, program sosialisasi menjadi fokus lembaga ini. Berdasarkan wawancara dengan Susdiarto, ahli teknik piano, partisipan workshop The Habibie Center pada tahun 2000, ada unit kerja untuk program sosialisasi, yaitu The Center for the Socialization and Dissemination of Technology. Workshop yang diikutinya tersebut bertema “Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai Rangsangan Kreativitas demi Pengecilan Jurang Kaya-miskin di dalam Setiap Bangsa dan di antara Bangsa-bangsa di Dunia.” Sosialisasi undang-undang hak kekayaan intelektual, seperti undang-undang hak cipta dan undang-undang hak paten, untuk menstimulasi kreativitas dalam menggapai pemerataan kebahagiaan, dalam konteks tertentu memang relevan. Namun karena kecenderungan privatisasinya, undang-undang ini sebenarnya juga dapat mereduksi proses pemerataan teknologi. Dalam program terbarunya, tampaknya unit sosialisasi tersebut tidak lagi diberdayakan diganti dengan visi berorientasi lingkungan.
Bila proposisi (a) mengajukan pentingnya sosialisasi, maka (b) menyatakan hak untuk menggunakan dan tidak menggunakan teknologi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial dan budaya. Kearifan lokal, misalnya, relevan untuk dihormati keberadaannya. Kita ketahui budaya-budaya lokal di Indonesia, yaitu kepercayaan-kepercayaan dan teknik-teknik tertentu yang bersifat unik dalam memanfaatkan alam, selalu menghormati kelestarian lingkungan. Pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan mengacu pada hukum adat sejalan dengan visi menjaga keanekaragaman hayati. Kearifan lokal menjadi upaya alternatif dalam mereduksi kerusakan lingkungan.
Teori filsafat yang mendukung proposisi (b) adalah pascafenomenologi. Pendekatan filosofis diajukan oleh Don Ihde ini melihat teknologi bersifat inheren dengan budaya. Fungsi teknis suatu alat dipahami dalam konteks budaya. Ihde menyatakan bagaimana pengalaman budaya menentukan bagaimana kita memahami, mencipta dan menggunakan teknologi. Banyak artefak dalam proses transfer teknologi tidak dapat bernilai teknis disebabkan oleh sistem sosial dan budaya yang berbeda. Artefak-artefak berciri teknis keberadaannya integral dengan budaya. Tidak hanya bentuknya, tetapi juga fungsinya yang khas.
Mengacu pada ide tentang kebebasan menggunakan teknologi ini, kita bisa mengacu pada proses rasionalisasi demokratis seperti diteorikan oleh Andrew Feenberg, filsuf dengan tradisi filsafat kritis. Menurut Feenberg, teknologi dapat didemokratisasikan melalui teori instrumentalisasi (2010). Dengan teori ini, fungsi pertama-pertama didekontekstualisasikan dari realitas (instrumentalisasi primer), kemudian baru kita terapkan dengan mengkontektualisasikannya berdasarkan nilai-nilai sosial dan budaya yang ada (instrumentalisasi sekunder). Selain pengaruhnya secara sosial dan budaya, tentu juga diperlukan penyesuaian terhadap kondisi geografis. Mengaplikasikannya ke tengah masyarakat perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang bersifat lokal. Di Indonesia, rasionalisasi demokratis dapat kita rujukkan pada nilai-nilai etis Pancasila yang menghormati keragaman budaya.
Proposisi (a) dan (b) melihat teknologi ketika disosialisasikan dan diaplikasikan ke tengah masyarakat, berbeda dengan (c) yang berfokus pada penguasaan fungsi dan terutama ilmu dan teknik yang mendasarinya. Seperti halnya (a) dan (b), ia juga menjadi solusi mengatasi bentuk-bentuk keterasingan. Budaya teknologis terbentuk berdasarkan pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi, engineering, dan matematika (STEM). STEM menjadi syarat berkembangnya budaya teknologis suatu negara. Selain itu, lembaga-lembaga pengembangan juga menjadi faktor menentukan. Lembaga-lembaga resmi berorientasi pada pengembangan STEM di Indonesia seperti kita ketahui yaitu LIPI, BPPT, dan PUSPIPTEK.
Dinamika STEM bisa kita lihat pada kegiatan lembaga-lembaga pemerintah seperti tersebut di atas. Dibandingkan dengan negara-negara maju, Indonesia memang dikatakan ‘relatif’ tertinggal. Ini dapat kita lihat pada indikasi kesuksesan STEM yang menghasilkan tenaga-tenaga ahli dalam bidangnya dan terutama pengetahuan publik berkenaan dengan perkembangan teknologi terbaru. Indikasi lainnya, jumlah publikasi ilmiah internasional dan inovasi-inovasi beserta penerapannya. Publikasi ilmiah internasional terindeks Scopus berdasarkan laporan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun 2016 berjumlah 9457 di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Singapura. Jumlah terbanyak, berdasarkan laporan LIPI dalam Science and Technology in Indonesia-in Brief (2014), publikasi dalam bidang teknik, setelah itu agrikultur dan ilmu biologi, dan kemudian kedokteran.
Jepang merupakan negara yang berhasil mengembangkan budaya teknologisnya. Ia menjadi tandingan budaya tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jepang. Modernisasi, terutama pasca Restorasi Meiji pada abad 19, telah membentuk budaya baru menggabungkan budaya tradisional dan ilmu dan teknologi Barat. Jepang menjadi negara maju terkait revolusi mental dengan mengembangkan budaya teknologis negara-negara Barat. Selain itu, peran lembaga ilmu RIKEN yang berdiri tahun 1917 juga menentukan kesuksesan. Lembaga ini memfasilitasi (menyediakan segala yang dibutuhkan) ilmuwan sehingga mereka dapat dengan bebas melakukan penelitian. RIKEN menjadi wadah bagi ilmuwan untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang digunakan pertama-tama untuk memajukan ekonomi negara. Menurut Kojiro Honda, peserta konferensi dari Jepang, dalam presentasinya di pertemuan ke 19 The Society for Philosophy and Technology di Northeastern University, Shenyang, Tiongkok, RIKEN memiliki pengaruh lebih terhadap kemajuan ekonomi Jepang dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan berbasis modal.
Berbeda dengan Indonesia yang memiliki pengalaman ambivalen terhadap ilmu dan teknologi Barat karena diasosiasikan dengan kolonialisme. Selain ambivalensi disebabkan oleh kolonialisme, juga kita ketahui faktor keanekaragaman sikap budaya dalam mempertimbangkan relevansinya. Selain dikondisikan budaya-budaya yang beragam, kondisi geografisnya yang 70% lautan dan terletak di zona ring of fire, yaitu zona gunung berapi di lingkaran lautan Pasifik yang menstimulasi seringnya terjadi gempa, menjadi faktor menentukan perkembangan budaya teknologis di Indonesia.
Relevansi budaya teknologis di Indonesia saya kira juga relevan dirumuskan secara hukum dalam bentuk undang-undang. Undang-undang berkenaan dengan komitmen negara mengembangkan ilmu dan teknologi dijelaskan dalan Undang-undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2019. Undang-undang ini menegaskan posisi negara dalam menyikapi pentingnya perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa negara menjamin dan mendukung secara hukum setiap usaha mengembangkan ilmu dan teknologi. Selain itu, juga dirumuskan mekanisme ‘inovasi bertanggungjawab’ terutama terhadap lingkungan dan kelestarian pengetahuan dan kearifan lokal.
Meski demikian, tidak lantas sosialisasi dan budaya teknologis itu bebas dari persoalan-persoalan etis. Mengenai hal ini kita mengacu pada proposisi (d) tentang etika mediasi teknologis digunakan untuk mengatasi non-netralitas teknologi. Di sini kita bisa lihat etika mediasi (atau teori mediasi) yang dikembangkan oleh Peter-Paul Verbeek (2004) berdasarkan filsafat pascafenomenologis. Etika ini menjelaskan bagaimana perilaku manusia diarahkan oleh teknologi. Ia dapat digunakan untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan dan masyarakat. Kerusakan lingkungan tentunya tidak bisa dikatakan bersumber pada teknologi semata, melainkan bersifat kompleks melibatkan manusia, demikian pula sebaliknya.
Selain itu, kita mesti memosisikan manusia bukan sebagai benda-benda, dan benda-benda (baca: teknologi) bagian dari manusia itu sendiri. Inovator berperan penting dalam mendesain artefak-artefak dan sistem-sistem. Inovator juga memiliki tanggung jawab menyesuaikan desainnya seturut dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penyesuaian menjadi penting untuk mengatasi persoalan yang memosisikan manusia semata-mata objek-objek belaka. Demikian pula sebaliknya, teknologi tidak bisa diposisikan berhadapan dengan manusia. Melihatnya melalui visi humanisme mengandaikan ia bagian dari manusia itu sendiri. Karena itu, perawatan (maintenance), check list dan penyempurnaan objek-objek dan sistem-sistem teknis menjadi penting agar fungsinya tetap dapat digunakan dengan baik. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan biasanya terjadi karena tidak adanya proses perawatan, check list dan penyempurnaan.
Proposisi-proposisi seperti telah dijabarkan di atas menjadi acuan dalam membuat kebijakan berciri humanistik. Perkembangan teknologi tentu memerlukan sebuah visi dan haluan agar sesuai dengan cita-cita kemanusiaan.
Penutup
Nilai-nilai kemanusiaan yang dianggap telah usang seiring dengan perkembangan teknologi yang mentransformasikan kehidupan perlu disikapi secara filosofis. Humanisme filsafat teknologi mencoba menghumanisasi melalui teori-teori dan langkah-langkah empiris. Untuk merespon kemajuannya, selain menteknologikan manusia diperlukan sebuah usaha memanusiakan teknologi.
Budi Hartanto, Alumnus STF Driyarkara, Peneliti Filsafat Teknologi, Penulis Buku Dunia Pasca-Manusia: Menjelajah Tema-tema Kontemporer Filsafat Teknologi (Kepik, 2013).
Daftar Rujukan
Combes, Murial. (2012). Gilbert Simondon and the Philosophy of the Transindividual. Diterjemahkan oleh Thomas LaMarre. The MIT Press.
Feenberg, Andrew (2010). Ten Paradoxes of Technology. Kuliah Andrew Feenberg di YouTube. Canada Research Chairs. Seminar Series. Simon Fraser University.
——————– (2005). “Critical Theory of Technology: An Overview”.
Tailoring Biotechnologies. Vol. 1, Issue 1, Winter.
Hartanto, Budi (2013). Dunia Pasca-manusia: Menjelajahi Tema-tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Penerbit Kepik. Depok.
Handayani, Tri., Asmara, Indri Juwita., et.al. (2014). Science and Technology in Indonesia-in Brief 2014. Center for Science and Technology Development Studies, LIPI.
Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays. Penerjemah: W. Lovitt. Harper and Row. New York.
Mahzar, Armahedi (2004). Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Sains dan Teknologi Islami. Penerbit Mizan, Bandung.
————- (1999). “Mencari Kesadaran Semesta di Mayantara”. Dalam pengantar buku Spritualitas Cyberspace, Leff Zaleski. Penerbit Mizan, Bandung.
Marcel, Gabriel (1962). Man Against Mass Society. H Regnery, Chicago.
Ihde, Don (1990). Technology and the Lifeworld: from Garden to Earth. Indiana University Press. Bloomington/Indianapolis.
Verbeek, Peter-Paul (2000). WhatThingsDo: Philosophical Reflections on Technology, Agency, and Design. Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Robert P. Crease. The Pennsylvania State University Press, Pennsylvania.
Mumford, Lewis. 2003. “Tool-User Vs. Homo Sapiens and the Megamachines”, dalam Philosophy of Technology: The Technological Condition: An Anthology. Editor: Scharff, Robert C. and Dusek, Val. US. Wiley-Blackwell.
Mitcham, Carl. (1994). Thinking Through Technology: The Path between Enginering and Philosophy. The University of Chicago Press. Chicago.
Simondon, Gilbert (1980). Gilbert Simondon: On the Mode of Existence of Technical Objects. Translator: Ninian Mellamphy. University of Western Toronto. www. academia.edu.