Oleh P. Alex Beding, SVD
KALAU orang bicara tentang sebuah jembatan, kita selalu membayangkan adanya sebuah lembah atau jurang atau kali. Untuk melewati tempat itu orang harus mendirikan jembatan.
LAMALERA, kampung nelayan yang terletak di pantai Selatan Lembata menghadap Laut Sawu mempunyai situasi tersendiri sebagai berikut. Di masa lampau Lamalera merupakan suatu kampung besar tapi terbagi atas dua kampung: yang satu letaknya lebih tinggi, namanya Teti Lefo (kampung di atas) dan yang lain lebih rendah, namanya Lali Fatan (kampung di bawah). Fatan artinya pantai, dan di desa Lali Fatan terletak pelabuhan dan tempat perahu-perahu. Sejak 1990 Lamalera telah menjadi dua desa otonom, yakni Desa Lamalera Atas alias Lamalera A dan Lamalera Bawah alias Lamalera B, masing-masing dengan kepala desa sendiri-sendiri.
Di antara dua desa ini terletak sebuah bukit. Di atas bukit itu terletak Sebagian dari desa Lamalera Atas. Bukit itu disebut Fung.
Untuk lalu lintas antara desa Lamalera A dan desa Lamalera B orang harus melewati Fung disuatu tempat yang dikenal dengan nama Gripe. Disitu tidak ada jalan, hanya ada tebing batu yang tegak dan tinggi. Ratusan tahun lalu, sejak orang Lamalera datang dan berdiam di tempat ini, Gripe itu mesti dilewati, entah dengan cara yang tidak diketahui. Namun akhirnya terdapat disitu sebuah ‘jalan’ umum. Tapi bagaimana rupa jalan itu bisa dibayangkan kalua kita membaca catatan di bawah ini.
Pada bulan Juni tahun 1886, dua imam Yesuit yaitu P. C. ten Brink SY dan P. Yoh de Vries SY singgah di Lamalera dan mempermandikan 125 anak-anak Lamalera menjadi Katolik, dan dengan demikian Gereja Katolik berdiri di Lembata. Mula-mula upacara itu diadakan di Lamalera B, lalu pada hari berikutnya mereka mengadakan upacara yang sama di Lamalera A. Nah berikut ini P. C. ten Brink SY menuturkan sedikit mengenai usaha keduanya untuk sampai ke kampung Lamalera A.
“Untuk pergi ke Lamalera A (Lamalera atas) kami harus pergi ke atas mengikuti satu jalan menyusur tebing wadas, lewat batu-batu besar. Jalannya mengerikan! Orang Lamalera menamakan tempat itu Gripe. Sungguh suatu kesenian tersendiri kalua orang berlangkah naik dengan aman dari batu ke batu. Jangan coba bersandar pada tebing, karena tumbuhan kaktus berduri tajam mengancam. Jangan salah langkah, karena di sebelah kiri terdapat jurang. Kaki dan tangan harus diletakkan tepat pada batu-batu yang sudah menjadi licin sebagai tempat bertumpuh. Dengan susah payah kami seolah-olah merayap sampai di atas. Tapi itu rasanya tidak cukup. Kami mendengar orang-orang di belakang kami tertawa terbahak-bahak melihat gerak-gerik kami yang lucu, sementara orang-orang kampung sendiri seenaknya dengan lincah naik-turun di atas batu-batu itu. Mereka bisa naik-turun sambil memikul atau menjunjung beban yang berat seolah-olah itu jalan yang paling gampang di dunia. P. de Vries merasa bahwa lebih baik dia berjalan tanpa sepatu dan kaos mengikuti cara orang Lamalera berjalan di situ. Tapi batu tajam dan tumbuhan berduri yang runcing segera menyadarkannya bahwa dia tidak memiliki sepatu ‘alamiah’ seperti kaki orang Lamalera. Jadi dia mengenakan kembali sepatunya dan berusaha sedapat mungkin untuk sampai di atas.”
Saya bertanya-tanya mengapa P. Bode SVD, pastor SVD pertama dan tetap, yang datang ke Lamalera sesudah pastor-pastor Yesuit, tidak mencatat apa-apa tentang Gripe. Waktu itu tangga sudah dikerjakan. Dia hanya menyinggung tentang jalan sempit di Gereja itu Ketika dipikirkan untuk membuat suatu jalan alternatif di belakang pastoran ke arah timur lewat Fung dan seterusnya. Tapi gagasan itu terlalu sulit dan akhirnya di tinggalkan.
Mengenai waktu tangga Gereja dibangun saya mendapat informasi dari Bpk. Ignatius Getan, yang mengatakan bahwa tangga itu dibangun pada tahun 1918.
Atas permintaan saya P. Jan van Asten – yang waktu itu sudah kembali ke Eropa – menulis beberapa catatan mengenai sejarah Gereja di Lembata. Dia menambahkan juga satu catatan singkat mengenai Gereja di Lamalera sebagai berikut:
“Di jalan menuju kampung atas sekarang ada sebuah tangga dengan anak-anak tangga cyclopise. Adapun cerita tentang tangga (Gripe) itu adalah sebagai berikut. Pada hari Residen dari Kupang datang ke Lamalera untuk meninjau kampung dan melihat peledang-peledang. Dia ingin sampai ke kampung atas untuk bertemu dengan raja, tapi dia harus melalui sebuah jalan sempit yang hanyalah sebuah takuk pada tebing. Baru saja dia meletakkan kakinya pada takuk itu, ia balik mukanya dan berkata kepada orang yang ada di belakangnya: “Saya bukan kambing!” lalu dia ennggan naik di tebing itu. Beberapa minggu setelah dia Kembali, dia mengirim semen yang dulu diisi dalam tong kayu, lalu orang membangun sebuah tangga semen. Meskipun anak-anak tangga yang berjumlah 15 buah terlalu tinggi, namun kuda-kuda para pastor bisa naik turun di situ. Pernah dibuat sebuah film untuk menunjukkan bagaimana seorang pastor di atas punggung kuda naik dan turun pada tangga itu. Saya sendiri sering dengan rasa segan naik tangga itu sambil menunggang kuda. Tapi sementara saya memperhitungkan segala sesuatu, kaki kuda saya sudah berada di anak tangga itu dan tidak mungkin lagi saya turun dari kuda. Dan saya sampai di atas dengan selamat tapi merasa ngeri juga! Kuda P. Thoolen dan P. Notermans sudah tahu seninya turun naik di Gripe itu.”
Tangga Gripe adalah satu berkat bagi masyarakat, suatu keunikan di Lamalera. Tibalah saatnya pada satu hari di tengah tahun 2000, orang membongkar Gripe yang masyhur itu, karena nampaknya Gripe akan tetap menghalangi perkembangan lalu lintas di zaman yang semakin maju. Sementara itu kendaraan beroda dua dan roda empat pun mulai memasuki Lamalera, tapi belum bisa sampai ke Lamalera atas. Jadi tangga semen itu sekarang tidak ada lagi, entah dibingkar entah ditutup, dan telah dibangun sebuah jalan yang bisa dilewati oleh kendaraan bermotor. Sebuah jalan yang dengan semen, dan dianggap cukup mantap untuk lalu lintas yang semakin lancer antara desa Lamalera A dan desa Lamalera B.
Bagaimanapun juga kenangan manis akan Gripe yang doeloe itu rupanya belum lenyap, karena toh ada nilai uniknya. Berdiri di atas Gripe seolah-olah berdiri di serambi gedung beberapa tingkat, dan orang menikmati panorama yang memesona di sebelah kiri hamparan perumahan penduduk Lamalera B, di samping deretan bangsal-bangsal tempat penyimpan peledang-peledang, di sebalah kanan laut nan jernih transparan berhiaskan ombak putih-putih berkilat laksana kristal yang tak henti-hentinya membelai pantai dengan hidangan rupawan bervariasi. Laut di depan Lamalera adalah mare nostrum alias lefa kame bagaikan kolam raksasa untuk ikan-ikan raksasa. Tapi Gripe bisa jadi tempat untuk aneka perjumpaan. Bayangkan kalau Anda datang dari Lamalera B ( Lamalera bawah) dan sesampai di atas muncullah si ‘kekasih’. Jadilah tempat perjumpaan para kekasih. Tuhan betapa agung karya tangan-Mu!.
Gripe
Jadi Gripe yang berupa tangga sempit kira-kira 50 cm lebarnya itu puluhan tahun telah berjasa sebagai jembatan satu-satunya yang menghubungkan Lamalera atas dan Lamalera bawah. Tak terbilang kaki manusia lewat di tangga itu: dari segala umur, untuk segala macam urusan; anak-anak sekolah; pelaut-pelaut yang tiap hari turun naik untuk pergi ‘lefa’; ibu-ibu dan gadis-gadis yang pergi pulang ‘penetang’ dan kalau ada hasil tangkapan di laut, di Gripe itu Anda boleh saksikan orang memikul atau menjunjung potongan-potongan daging ikan yang berat itu sambil naik anak tangga demi anak tangga dengan napas terenga-enga tapi dalam semangat gembira karena Tuhan telah memberikan berkat-Nya; lewat Gripe itulah jalan pergi dan pulang bagi umat beriman ke dan dari ibadat di Gereja. Lewat jalan Gripe itu perarakan panjang Corpus Cristi (Sakramen Mahakudus) dan Jumad Agung. Pater Bode dan para penggantinya secara konsisten mengadakan prosesi-prosesi itu dengan obor-obor bernyala, sebagai tradisi Kristiani dan meski dilagsungkan pada malam hari dan melewati tangga yang sempit di Gripe itu, tidak pernah terjadi suatu kecelakaan. Dan lewat Gripe yang sempit itu pula jalan terakhir bagi yang meninggal di Lamalera bawah. Dengan hormat dan hati-hati para pengusung membawa peti jenasah melalui tangga sempit itu menuju Gereja dan akhirnya ke pemakaman.
Sudah hampir 100 tahun umur tangga Gripe itu dan tidak pernah mengalami kerusakan meski pernah bongkah batu tebing jatu di atasnya. Pada 1930, ketika Gereja kedua di Lamalera dibangun, konstruksi atap perlu ditunjang oleh 14 tiang kayu. Kayu tiang-tiang itu diambil daru gunung dekat Puor. Kakang Johanes Muran memerintahkan supaya batang-batang pohon itu ditarik ke Lamalera lalu dikerjakan menjadi tiang-tiang. Batang-batang pohon yang gemuk-gemuk itu ditarik oleh tenaga manusia sampai ke Lamalera B, lantas diseret di atas anak tangga Gripe tanpa merusakkan jembatan kesayangan orang Lamalera itu, sampai di muka Gereja. Di situ tangan-tangan terampil tukang-tukang Lamalera mengikis, memoles, dan mengubahnya menjadi pilar-pilar bundar megah dan molek. Kemudian tukang-tukang mahir itu mampu mengangkat pilar-pilar yang 6 sampai 7 meter tingginya berdiameter 32 cm dan mendirikannya di atas kaki dari beton yang lebih kurang 1 meter tingginya. Satu prestasi yang patut dibanggakan.
Seribu kali sayang, bahwa Ketika Gereja kedua dibongkar banyak obyek kebanggaan dari gedung itu ikut dibongkar dan hilang, termasuk pilar-pilar indah itu. Mau tahu mengapa Gripe tetap jaya dan tahan banting ketika batang-batang pohon yang keras itu berguling di atas anak-anak tangganya? Semen yang dikirim atas perintah Residen di Kupang telah dicampur dengan pasir dari Pantai Lamalera, itulah rahasianya mengapa Gripe bertahan begitu lama. Tukang-tukang Lamalera dari generasi awal abad ke-20 telah mewariskan Gripe itu untuk kita anak-anak, cucu-cucu mereka.
Petanyaan terakhir ap arti Gripe? Apa arti sebuah nama? Pentingkah mengetahui arti tempat itu? Saya tidak tahu dan tidak bersedia membuat terka-terkaan. Tetapi Gripe tetap menawan. Meski sekarang terkubur di bawah lapisan semen, Gripe hendaknya tak layak dilupakan. Dan Gripe tetaplah sebuah nama untuk mengabadikan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan bagi dua desa yang bernama satu LAMALERA.
——————————————————————————–